Menyelami Kepemimpinan Khalifah Keempat di Tengah Badai Fitnah
Keadilan dan Ilmu: Dua pilar utama yang mendefinisikan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib.
Sejarah Islam awal, yang dikenal sebagai era kegemilangan dan kemurnian penerapan syariat, tidak bisa dilepaskan dari peran sentral para sahabat utama, khususnya empat sosok agung yang kemudian dikenal sebagai Khulafaur Rasyidin (Khalifah yang Dibimbing dengan Benar). Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, kepemimpinan umat secara berurutan diemban oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan terakhir adalah Ali bin Abi Thalib.
Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad, adalah sosok yang memiliki keistimewaan luar biasa sejak masa kanak-kanaknya. Ia tumbuh dalam asuhan langsung Rasulullah, menjadikannya penerima langsung didikan moral, spiritual, dan intelektual kenabian. Ketika membicarakan ali bin abi thalib adalah khulafaur keempat, kita tidak hanya membicarakan suksesi politik, tetapi juga puncak dari era kesalehan pemerintahan yang berusaha meniru pola kepemimpinan Nabi dalam segala aspek.
Masa kekhalifahan Ali, meskipun singkat jika dibandingkan dengan pendahulunya, dipenuhi dengan dinamika yang paling kompleks dan tragis dalam sejarah Islam—periode yang dikenal sebagai "Fitnah Besar" (Perang Saudara Pertama). Tantangan yang ia hadapi bukan hanya masalah perluasan wilayah atau administrasi, melainkan upaya mempertahankan kesatuan akidah dan politik umat yang mulai terpecah. Kepemimpinan Ali adalah epik tentang keadilan yang teguh, ilmu yang mendalam, dan pengorbanan personal demi prinsip.
Ali bin Abi Thalib dilahirkan di Mekkah, dari pasangan Abu Thalib dan Fatimah binti Asad. Ayahnya, Abu Thalib, adalah paman Nabi Muhammad dan pelindung utamanya dari ancaman Quraisy. Ketika keluarga Nabi mengalami kesulitan ekonomi, Muhammad SAW mengambil Ali kecil untuk diasuh, sebuah tindakan yang mengikat hubungan kekerabatan mereka menjadi hubungan spiritual ayah-anak dan guru-murid.
Keistimewaan Ali tampak pada usianya yang sangat muda ketika Islam pertama kali diserukan. Secara tradisional, ia sering disebut sebagai anak laki-laki pertama yang memeluk Islam. Saat Rasulullah menerima wahyu, Ali menyaksikan dan segera membenarkannya, tanpa keraguan. Keislamannya yang murni ini menempatkannya pada garis depan dakwah sejak awal, menjadi saksi bisu perjuangan di Mekkah yang penuh tekanan dan penganiayaan.
Salah satu momen paling heroik dalam fase Mekkah adalah malam Hijrah. Ketika kaum Quraisy merencanakan pembunuhan terhadap Nabi, Ali dengan gagah berani menggantikan posisi tidur beliau, menyelimuti dirinya dengan mantel hijau Nabi. Tindakan ini merupakan pengorbanan jiwa yang menunjukkan kesetiaan absolut dan keberanian yang tak tergoyahkan, memberikan waktu bagi Nabi untuk berhijrah ke Madinah dengan selamat. Setelah Nabi pergi, Ali menjalankan amanah besar lainnya: mengembalikan semua harta titipan yang dipercayakan orang Mekkah (meskipun musuh-musuh Nabi) kepada Rasulullah, sebuah bukti integritas moral yang tertinggi, bahkan di tengah bahaya.
Setelah tiba di Madinah, Ali melanjutkan perannya sebagai pilar pendukung utama Islam. Di sana, ia dinikahkan dengan Fatimah Az-Zahra, putri bungsu kesayangan Nabi Muhammad. Pernikahan ini menghasilkan Hasan dan Husain, yang kelak dikenal sebagai ‘pemimpin pemuda surga’, memperkuat status Ali sebagai bagian tak terpisahkan dari Ahlul Bait (Keluarga Nabi).
Kecakapan Ali dalam medan perang tidak tertandingi. Keberaniannya, yang sering digambarkan sebagai keberanian singa, menjadikannya salah satu komandan militer paling efektif dalam sejarah Islam. Dalam hampir semua pertempuran besar, Ali memegang peran kunci:
Namun, peran Ali tidak terbatas pada kekuatan fisik. Nabi Muhammad sering memuji Ali atas kecerdasannya yang luar biasa, dengan ucapan terkenal, Aku adalah kota ilmu, dan Ali adalah gerbangnya.
Julukan ‘Gerbang Ilmu’ ini menunjukkan kedudukannya sebagai rujukan utama dalam bidang tafsir Al-Qur'an, Fiqh (hukum Islam), dan tata bahasa Arab. Dialah yang diyakini sebagai peletak dasar ilmu Nahwu (Sintaksis Arab), sebuah kontribusi fundamental yang menjaga kemurnian pemahaman teks suci.
Setelah wafatnya Nabi Muhammad, suksesi kepemimpinan jatuh kepada Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Selama periode kekhalifahan Rasyidah yang pertama ini, Ali memilih peran sebagai penasihat spiritual, hukum, dan militer utama. Meskipun tidak memegang tampuk kekuasaan eksekutif, pengaruhnya di Madinah sangat besar. Para Khalifah sering mencari nasihat dan fatwanya dalam masalah-masalah kompleks, terutama yang berkaitan dengan interpretasi Al-Qur'an dan Sunnah.
Selama era Umar bin Khattab, Ali sering disebut sebagai 'Hakim Utama' di Madinah. Umar sangat menghormati wawasan hukum Ali dan pernah menyatakan bahwa, Seandainya bukan karena Ali, Umar pasti binasa.
Peran ini menunjukkan bahwa, bahkan sebelum ia menjadi Khalifah, Ali sudah dianggap sebagai otoritas keilmuan tertinggi di antara para Sahabat yang tersisa. Ia memegang prinsip ketidakberpihakan dan keadilan, sebuah fondasi yang kelak ia coba terapkan secara total dalam masa pemerintahannya sendiri.
Pada masa Khalifah Utsman bin Affan, Ali mencoba menengahi konflik yang semakin memanas antara Khalifah dan para pemberontak. Meskipun Ali berselisih pandangan dengan Utsman dalam beberapa masalah administratif, ia tetap berusaha melindungi Utsman dan memohon kesabaran dari para penentangnya. Ia menyadari bahwa kekerasan terhadap Khalifah akan membuka pintu fitnah (kekacauan) yang sulit ditutup. Usahanya untuk menjaga stabilitas menunjukkan rasa tanggung jawabnya yang mendalam terhadap persatuan umat, meskipun upayanya tidak berhasil mencegah tragedi yang terjadi.
Tragedi wafatnya Utsman bin Affan merupakan titik balik yang mematikan bagi umat Islam. Dengan terbunuhnya seorang Khalifah di ibukota Islam, tatanan politik runtuh, menciptakan kekosongan kekuasaan yang segera diisi oleh kekacauan. Para pemberontak dan sebagian besar penduduk Madinah mendesak Ali untuk menerima jabatan Khalifah. Ali awalnya menolak, karena ia tahu bahwa menerima jabatan tersebut saat itu berarti mewarisi kekacauan, fitnah, dan tanggung jawab untuk menuntut balas atas darah Utsman, yang merupakan tuntutan yang hampir mustahil untuk dipenuhi tanpa memecah belah umat lebih jauh.
Namun, tekanan publik, yang melihatnya sebagai satu-satunya figur yang tersisa dari generasi emas dan paling layak secara spiritual dan keilmuan, membuat Ali akhirnya setuju. Ali bin Abi Thalib dibaiat (diangkat) sebagai Khalifah Ar-Rasyidin Keempat. Pengangkatannya ini segera memicu perlawanan. Prinsip utama yang dipegang Ali adalah bahwa pemerintahan harus kembali ke jalur kesederhanaan dan keadilan, seperti pada masa Nabi dan Abu Bakar, serta menolak keras praktik nepotisme atau pengistimewaan yang dituduhkan terjadi pada akhir masa Utsman.
Segera setelah menjabat, Ali mengambil langkah drastis yang, meskipun benar secara prinsip, menimbulkan gejolak politik hebat: Ia memberhentikan hampir semua gubernur yang diangkat oleh Utsman, terutama yang berasal dari Bani Umayyah, dan menggantinya dengan sahabat-sahabat yang ia anggap saleh dan tepercaya. Kebijakan ini segera memposisikan Ali dalam konflik langsung dengan Muawiyah bin Abi Sufyan, Gubernur Syam (Suriah) yang sangat kuat dan merupakan kerabat dekat Utsman.
Masa pemerintahan Ali (kurang lebih lima tahun) adalah masa penegasan kembali nilai-nilai keadilan sosial yang mutlak. Ali berjuang melawan mentalitas birokratis dan elitisme yang mulai tumbuh dalam kekhalifahan. Filosofi pemerintahannya dapat diringkas dalam beberapa poin kunci:
Ali menolak sistem kasta atau hak istimewa berdasarkan senioritas atau kedekatan suku dalam pembagian harta baitul mal (kas negara). Berbeda dengan beberapa kebijakan sebelumnya yang memberikan porsi lebih besar kepada para sahabat awal, Ali berpegangan pada prinsip bahwa semua Muslim yang memenuhi syarat memiliki hak yang sama atas kekayaan negara. Ali memerintahkan agar harta dibagi secara merata. Ketika sebagian orang protes, menuntut perlakuan istimewa, Ali menjawab dengan tegas bahwa kemuliaan seseorang ada di sisi Allah, bukan pada seberapa banyak harta yang ia terima dari negara.
Ali adalah teladan bagi pejabatnya. Ia terkenal menjalani hidup yang sangat sederhana, menolak kemewahan dan kesenangan duniawi. Ia menulis surat-surat instruksi kepada para gubernur yang menekankan pentingnya takut kepada Allah, melayani rakyat, dan menghindari penumpukan kekayaan pribadi. Surat-suratnya, banyak yang dikumpulkan dalam kitab Nahjul Balaghah, adalah karya agung administrasi publik dan etika politik, menekankan bahwa tugas seorang pemimpin adalah melayani, bukan memerintah demi kepentingan diri sendiri.
Untuk menghindari dominasi faksi-faksi politik lama di Madinah dan agar lebih dekat dengan pusat kekuatan militer baru di Irak, Ali memindahkan ibu kota kekhalifahan ke Kufah. Keputusan ini strategis namun juga simbolis, menunjukkan pergeseran dari pusat spiritual tradisional ke pusat militer-politis baru. Kufah segera menjadi pusat intelektual dan basis pendukung utama Ali, tetapi juga menjadi sarang bagi faksi-faksi yang sulit dikendalikan.
Ali adalah Khalifah pertama yang harus memimpin umat Islam dalam perang melawan sesama Muslim. Tuntutan utama dari pihak yang menentangnya, yang dipimpin oleh Muawiyah di Syam, serta sebagian sahabat terkemuka di Hijaz, adalah pembalasan segera atas darah Utsman. Ali berpendapat bahwa stabilitas harus dipulihkan terlebih dahulu sebelum proses hukum yang adil dapat dilakukan, karena para pembunuh Utsman bercampur baur dalam barisan tentara dan kekacauan masih melanda. Perbedaan pandangan ini, yang pada dasarnya adalah konflik antara prioritas keadilan versus prioritas persatuan, memicu serangkaian konflik berdarah.
Konflik bersenjata pertama Ali adalah melawan faksi yang dipimpin oleh dua sahabat terkemuka, Talhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam, yang didukung oleh Aisyah, istri Nabi. Mereka bergerak dari Mekkah menuju Basrah. Tujuan mereka adalah mendesak Ali untuk segera menghukum pembunuh Utsman dan memulihkan tatanan. Ali bergerak ke Basrah untuk bernegosiasi, karena ia sangat ingin menghindari pertumpahan darah.
Meskipun upaya negosiasi awalnya berhasil, provokasi pada malam hari oleh kelompok yang terlibat dalam pembunuhan Utsman memicu pertempuran besar. Pertempuran ini dikenal sebagai Perang Jamal karena Aisyah menyaksikan dari atas unta. Ali meraih kemenangan, tetapi kerugiannya sangat besar: darah Sahabat Nabi tumpah di tangan Sahabat Nabi lainnya. Setelah kemenangan, Ali menunjukkan kebesaran jiwanya dengan memperlakukan Aisyah dengan hormat dan memastikan ia dikembalikan ke Madinah dengan pengawalan penuh kehormatan.
Ancaman terbesar Ali berasal dari Syam, di mana Muawiyah bin Abi Sufyan menolak mengakui kekhalifahan Ali. Muawiyah menggunakan baju Utsman yang berlumuran darah sebagai simbol perlawanan, menuntut pembalasan. Pada tahun 37 H, pasukan Ali dan Muawiyah bertemu di Shiffin (sekarang Suriah).
Pertempuran berlangsung sengit selama beberapa hari, dengan kerugian besar di kedua belah pihak. Ketika pasukan Ali hampir memenangkan pertempuran, Muawiyah menggunakan taktik cerdik: ia memerintahkan tentaranya mengangkat mushaf Al-Qur'an di ujung tombak, menyerukan "Hukum Allah yang memutuskan!" Tindakan ini memecah belah tentara Ali. Sebagian besar, terutama para Qari’ (pembaca Al-Qur’an), menuntut agar Ali menerima arbitrase (tahkim) berdasarkan Al-Qur'an.
Ali, meskipun skeptis terhadap muslihat ini, terpaksa menerima arbitrase di bawah tekanan dari tentaranya sendiri. Arbitrase dilakukan oleh perwakilan Ali (Abu Musa Al-Asy’ari) dan perwakilan Muawiyah (Amr bin Ash). Proses arbitrase gagal total; perwakilan Ali dikelabui, yang berakhir dengan pengumuman bahwa baik Ali maupun Muawiyah tidak layak menjadi Khalifah, meskipun Muawiyah kemudian memanfaatkan kegagalan ini untuk memperkuat legitimasinya di Syam.
Konsekuensi paling fatal dari peristiwa Shiffin adalah munculnya kelompok Khawarij (yang berarti "mereka yang keluar"). Kelompok ini awalnya adalah pendukung Ali yang paling militan. Namun, karena Ali menerima arbitrase (yang mereka anggap sebagai pengkhianatan terhadap prinsip bahwa ‘keputusan hanya milik Allah’—La hukma illa lillah
), mereka memisahkan diri dan menyatakan Ali, Muawiyah, dan semua pihak yang terlibat dalam arbitrase telah kafir.
Khawarij menjadi kelompok ekstremis pertama dalam Islam. Mereka mulai melakukan teror dan pembunuhan terhadap Muslim yang tidak sependapat dengan mereka. Meskipun Ali sangat enggan memerangi mereka, ketika Khawarij membunuh Abdullah bin Khabab dan istrinya yang hamil, Ali terpaksa bertindak. Pertempuran Nahrawan melawan Khawarij adalah kemenangan militer terakhir Ali, tetapi tindakan ini menanam benih dendam yang berujung pada pembunuhannya.
Periode ini menunjukkan dilema kepemimpinan Ali: ia harus berjuang melawan pembangkang di Syam (politik), ekstremis di dalam barisannya sendiri (teologis), sambil berusaha mempertahankan keutuhan moral dan prinsip keadilan yang ia yakini.
Warisan terbesar Ali bin Abi Thalib melampaui medan perang dan administrasi. Ia adalah salah satu sumber pengetahuan dan spiritualitas terbesar dalam Islam. Perannya sebagai ‘Gerbang Ilmu’ tidak pernah pudar, bahkan di tengah gejolak politik. Selama dan setelah masa kenabian, ia adalah rujukan utama dalam beberapa disiplin ilmu:
Ali memiliki pemahaman mendalam tentang konteks turunnya ayat-ayat Al-Qur'an. Fatwa-fatwanya seringkali didasarkan pada penalaran hukum yang tajam dan keadilan yang utuh. Ia dikenal sangat menentang formalisme hukum yang mengabaikan semangat keadilan. Dalam hal Fiqh, mazhab-mazhab hukum kemudian banyak mengambil dari riwayat dan ijtihad Ali, terutama dalam masalah peradilan.
Kumpulan khotbah, surat, dan ucapan bijak Ali yang terkenal, yang dihimpun kemudian dalam kitab Nahjul Balaghah (Jalan Kefasihan), merupakan salah satu warisan sastra Arab dan teologis yang paling penting. Isi dari Nahjul Balaghah mencakup tema-tema metafisika, filsafat pemerintahan, keadilan sosial, dan etika individu. Khotbah-khotbahnya tentang keesaan Allah, penciptaan alam semesta, dan tanggung jawab manusia menunjukkan kedalaman pemikiran yang melampaui zamannya. Ini bukan sekadar kumpulan ucapan; ini adalah manual kepemimpinan yang etis dan ajaran tentang Zuhd (asketisme).
"Kezaliman yang paling menyedihkan adalah kezaliman orang-orang berilmu terhadap orang-orang yang jahil, dan kezaliman orang-orang kuat terhadap orang-orang lemah."
Meskipun menjadi penguasa wilayah yang luas, Ali hidup dalam kemiskinan yang hampir total. Ia sering menambal pakaiannya sendiri, makan makanan yang paling sederhana, dan menolak kemewahan yang ditawarkan kepadanya. Ia berulang kali mengingatkan umatnya tentang kefanaan dunia dan pentingnya mempersiapkan diri untuk akhirat. Sikap zuhd ini menjadi teladan utama bagi gerakan spiritual Islam (Sufisme) yang berkembang di kemudian hari, menempatkan Ali sebagai salah satu tokoh sentral dalam silsilah spiritual banyak tarekat sufi.
Gejolak yang diciptakan oleh Khawarij tidak pernah sepenuhnya padam. Setelah kekalahan di Nahrawan, sisa-sisa Khawarij merencanakan pembunuhan terhadap tiga pemimpin utama yang mereka anggap bertanggung jawab atas perpecahan umat: Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan, dan Amr bin Ash. Meskipun Muawiyah dan Amr bin Ash lolos dari upaya pembunuhan, Ali tidak seberuntung itu.
Pada tanggal 19 Ramadhan, saat subuh, ketika Ali menuju masjid Agung Kufah untuk memimpin shalat, ia diserang oleh Abdurrahman bin Muljam, seorang anggota Khawarij. Pedang beracun yang menghantamnya menyebabkan luka fatal. Ali bin Abi Thalib wafat dua hari kemudian, meninggalkan jabatan Khalifah yang kosong dan umat yang semakin terpecah.
Wafatnya Ali menandai berakhirnya era Khulafaur Rasyidin. Setelahnya, putranya, Hasan bin Ali, diangkat sebagai Khalifah, namun Hasan, demi menghindari pertumpahan darah lebih lanjut dan atas dasar kesatuan umat, menyerahkan kekhalifahan kepada Muawiyah melalui perjanjian damai. Peristiwa ini secara efektif mengakhiri sistem pemilihan Khalifah yang didasarkan pada kearifan dan persetujuan umat, dan menggantinya dengan sistem monarki dinasti di bawah Bani Umayyah.
Kematian Ali memiliki konsekuensi teologis dan politik yang sangat mendalam, yang membentuk lanskap Islam hingga hari ini.
Bagi Sunni, Ali adalah salah satu dari Empat Khalifah Rasyidin, sosok yang dihormati karena keilmuan, keberanian, dan kesalehannya. Ia dianggap sebagai model ketaatan dan keadilan yang hidupnya menjadi teladan dalam menghadapi fitnah (ujian). Meskipun mengakui bahwa konflik dengan Muawiyah adalah tragedi, Sunni menghormati kedua belah pihak sebagai Sahabat. Ali tetap menjadi salah satu sumber utama dalam hadis, fiqh, dan tasawuf.
Bagi Syiah, Ali memiliki kedudukan yang jauh lebih tinggi. Mereka meyakini bahwa ia seharusnya menjadi penerus (Imam) pertama Nabi Muhammad berdasarkan penunjukan ilahi di Ghadir Khumm. Kepemimpinannya (Imamah) dianggap sebagai kelanjutan esensial dari kenabian. Syiah melihat Ali bukan hanya sebagai Khalifah politik, tetapi sebagai pemimpin spiritual tak terpisahkan dan sumber interpretasi agama yang mutlak, menjadikannya figur sentral dari seluruh ajaran Syiah.
Perbedaan pandangan historis dan teologis ini menegaskan betapa sentralnya Ali bin Abi Thalib dalam identitas dan sejarah umat Islam. Ia adalah jembatan antara masa kenabian dan masa kekhalifahan dinasti, seseorang yang mencoba membawa kesempurnaan Islam secara utuh ke dalam sistem pemerintahan, bahkan ketika sistem itu sendiri mulai rapuh digerogoti ambisi duniawi.
Mengapa masa kekhalifahan Ali dipenuhi gejolak, padahal ia adalah sosok yang paling dekat dengan Nabi dan paling berilmu? Jawabannya terletak pada integritas absolut Ali yang berhadapan langsung dengan realitas politik yang berubah. Ali naik tahta ketika sistem politik Islam telah menjadi kekaisaran yang besar, bukan lagi komunitas sederhana di Madinah.
Para pendahulu Ali, terutama Umar dan Utsman, harus mengambil kebijakan pragmatis dalam mengelola kekayaan yang masuk dan mengendalikan wilayah yang luas, yang terkadang memerlukan kompromi politik. Ali, sebaliknya, menolak kompromi. Ia bersikeras menerapkan keadilan sosial dan kesetaraan harta secara radikal, memecat pejabat korup atau yang meragukan integritasnya, bahkan jika mereka adalah tokoh-tokoh kuat. Bagi Ali, ketaatan pada syariat murni lebih penting daripada stabilitas politik yang semu.
Prinsip-prinsip Ali yang tegas ini seringkali bertentangan dengan kepentingan elit baru yang telah terbiasa dengan hak istimewa dan kekuasaan regional yang luas. Muawiyah, misalnya, telah membangun basis kekuatan yang sangat stabil di Syam selama puluhan tahun; pemberhentiannya oleh Ali dianggap sebagai ancaman eksistensial, bukan sekadar pergantian jabatan. Ali menuntut loyalitas tanpa syarat kepada prinsip keadilan, sementara lawan-lawannya menuntut stabilitas dan jaminan kekuasaan.
Di mata para sejarawan dan teolog, Ali mewakili upaya terakhir untuk mempertahankan Khilafah Ar-Rasyidah sebagai lembaga yang didasarkan pada idealisme agama dan bukan pada kekuatan suku atau dinasti. Kegagalannya untuk menyatukan umat melalui idealisme murni menunjukkan bahwa zaman keemasan telah berakhir, dan umat Islam memasuki era pemerintahan yang didominasi oleh kekuasaan temporal dan dinasti.
Untuk memahami kedalaman Ali sebagai Khulafaur Rasyidin, kita harus kembali kepada inti ajaran kepemimpinannya. Dalam suratnya kepada Malik Al-Asytar, gubernur Mesir, Ali memberikan cetak biru yang komprehensif tentang pemerintahan ideal, yang di dalamnya ia menjelaskan bahwa penguasa haruslah menjadi "ayah" bagi rakyatnya, yang tidak hanya mengurus kebutuhan materi tetapi juga moral mereka.
Ali menekankan pentingnya mendengarkan keluhan rakyat kecil, bukan hanya para elit. Ia memperingatkan Malik Al-Asytar agar tidak pernah mengisolasi dirinya dari orang-orang. Ali mengajarkan bahwa keadilan harus diterapkan tanpa memandang pangkat, harta, atau kekerabatan. Prinsip ini sangat kontras dengan norma-norma kesukuan yang masih kuat di Jazirah Arab. Keberanian Ali terletak pada kemauan untuk menantang struktur sosial lama demi tegaknya hukum Ilahi.
Salah satu aspek yang paling sering diabaikan dalam pembahasan politik Ali adalah peran intelektual Kufah. Kufah di bawah Ali menjadi inkubator ilmu pengetahuan. Ali tidak hanya memimpin secara militer, tetapi ia mengajar, berdiskusi, dan mendidik generasi ulama baru. Ini berbeda dengan tradisi administrasi militer murni. Bagi Ali, pemerintahan yang benar haruslah pemerintahan yang tercerahkan, di mana ilmu dan spiritualitas menjadi landasan kebijakan. Ini menunjukkan visi kekhalifahan yang tidak hanya fokus pada penaklukan, tetapi juga pada pembangunan peradaban berdasarkan akal dan wahyu.
Bahkan ketika dihadapkan pada perang saudara, Ali selalu memprioritaskan dialog dan perdamaian, sejauh memungkinkan. Ia sering mengirim utusan untuk bernegosiasi sebelum pertempuran dimulai, sebuah praktik yang ia ambil langsung dari Sunnah Nabi. Keterpaksaannya dalam berperang, terutama melawan Khawarij, adalah karena mereka telah menjadi ancaman domestik yang merusak tatanan sosial dan melakukan penumpahan darah yang tidak beralasan.
Kisah-kisah tentang kezuhudan Ali menjadi legenda. Konon, ketika kekayaan besar dari wilayah taklukan mengalir ke Madinah dan Kufah, Ali tetap makan roti jelai yang keras dan tidur di tikar kasar. Ketika seseorang bertanya mengapa ia, sebagai Khalifah penguasa kekaisaran, hidup begitu sederhana, Ali menjawab bahwa seorang pemimpin harus menunjukkan jalan kesalehan dan kesederhanaan, dan ia tidak ingin menjadi hamba nafsu duniawi.
Sikap ini memiliki resonansi politik yang besar. Dengan menolak kekayaan, Ali secara efektif menarik legitimasi dari gubernur-gubernur yang hidup mewah. Ia berusaha mengembalikan moralitas kepemimpinan Islam ke masa awal, di mana pemimpin bukanlah raja, tetapi pelayan umat. Ironisnya, kesalehan radikalnya inilah yang membuat ia sulit diterima oleh faksi-faksi yang telah terbiasa dengan keuntungan material dari penaklukan besar-besaran.
Fokus Ali pada keadilan distributif juga sangat revolusioner. Keputusannya untuk menyamaratakan pembagian harta rampasan perang dan pendapatan pajak, tidak membedakan antara veteran Badr dan mualaf baru, adalah pernyataan tegas bahwa di mata Islam, semua Muslim setara. Keputusan ini menghapus hirarki sosial-ekonomi yang mulai terbentuk di Madinah, sebuah hirarki yang memberikan kekuasaan ekonomi kepada Sahabat awal yang kaya dan berpengaruh. Ali berpendapat bahwa pahala dan kedudukan harus dicari di akhirat, bukan melalui akumulasi harta duniawi yang didistribusikan negara.
Selain politik dan fiqh, Ali juga memiliki peran penting dalam meletakkan dasar bagi ilmu teologi (Kalam). Diskusi-diskusi yang muncul di masa Fitnah, terutama mengenai predestinasi (Qadar) dan kehendak bebas, sering merujuk kembali pada ucapan-ucapan Ali. Khawarij muncul karena interpretasi yang kaku terhadap kedaulatan Tuhan, dan tanggapan Ali terhadap mereka membantu mendefinisikan posisi moderat yang kemudian diadopsi oleh mayoritas umat Islam.
Ali mengajarkan bahwa Allah memberikan kebebasan memilih kepada manusia, dan bahwa manusia bertanggung jawab atas perbuatannya. Pemahamannya yang seimbang ini—antara kehendak Tuhan yang mutlak dan tanggung jawab moral manusia—menjadi ciri khas pemikiran teologis Islam yang ortodoks. Ia adalah sosok yang menggunakan akal (rasio) secara mendalam untuk memahami teks wahyu, sehingga ia dihormati sebagai tokoh rasionalis sekaligus mistikus.
Kekhalifahan Ali adalah periode di mana umat Islam secara paksa dihadapkan pada pertanyaan fundamental: Apa itu keadilan? Apa batas ketaatan? Siapa yang berhak memimpin? Perjuangan Ali untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, dengan mengacu pada prinsip-prinsip murni, menjadikannya tolok ukur idealisme kepemimpinan Islam. Meskipun pemerintahannya berakhir dengan tragedi, warisan keilmuan dan etika kekhalifahannya tetap abadi.
Kesimpulannya, pengakuan bahwa ali bin abi thalib adalah khulafaur rasyidin keempat adalah pengakuan atas integritas, keilmuan, dan perjuangan tiada henti untuk menegakkan prinsip-prinsip Islam di tengah realitas politik yang kacau. Ia adalah khalifah yang paling banyak berkorban untuk kesatuan umat, namun justru menjadi korban dari perpecahan yang tak terhindarkan. Kehidupan dan kematiannya membentuk jembatan yang menghubungkan era kenabian dengan peradaban Islam yang lebih luas, dan hingga kini, khotbah, ajaran, dan keteladanannya tetap menjadi sumber inspirasi yang tak pernah kering bagi setiap Muslim yang mencari keadilan dan pengetahuan sejati.
Meskipun era Khulafaur Rasyidin berakhir dengan wafatnya Ali, dampaknya tidak pernah pudar. Ia meninggalkan warisan yang mendalam, bukan dalam bentuk dinasti atau kekayaan, melainkan dalam bentuk wacana moral, etika kepemimpinan, dan sumbangan tak ternilai bagi ilmu-ilmu Islam. Ali bin Abi Thalib dikenang sebagai salah satu tokoh terbesar yang pernah memimpin umat, seorang pahlawan, seorang ulama agung, dan seorang Khalifah yang keberaniannya hanya dilampaui oleh keteguhan jiwanya dalam mencari keridhaan Ilahi.