Alt: Busur dan panah Sa'd ibn Abi Waqqas, melambangkan keahliannya yang legendaris.
Kisah hidup Sa'd ibn Abi Waqqas (radiyallahu 'anhu) adalah narasi yang terjalin erat dengan fondasi Islam itu sendiri. Ia bukan hanya seorang sahabat Nabi Muhammad ﷺ yang mulia, tetapi juga merupakan pilar militer yang tak tergoyahkan, seorang komandan yang kecerdasannya di medan perang menempatkannya dalam jajaran penakluk terbesar dalam sejarah peradaban. Gelarnya sebagai 'Abu Waqqas' adalah pengakuan atas peran krusialnya, sementara statusnya sebagai salah satu dari Sepuluh Orang yang Dijamin Surga (Al-'Asyarah al-Mubasysyarun bi al-Jannah) menegaskan kedudukannya yang istimewa di sisi Allah SWT.
Sa'd berasal dari klan Bani Zuhrah, suku Quraisy di Mekah. Hubungan kekerabatannya dengan Rasulullah ﷺ sangatlah dekat, karena ia adalah paman Nabi dari pihak ibu (Nabi adalah putra Aminah binti Wahb, yang juga berasal dari Bani Zuhrah). Kedekatan genealogi ini, ditambah dengan keutamaan karakternya, menjadikannya figur yang dihargai bahkan sebelum masa kenabian. Namun, kontribusi terbesarnya dimulai sejak detik ia menerima Islam, sebuah keputusan yang mengubah total lanskap hidupnya, membawanya dari seorang pemuda Mekah menjadi panglima tertinggi yang bertanggung jawab atas penghancuran kekaisaran Persia Sasanid yang perkasa.
Sa'd ibn Abi Waqqas termasuk dalam gelombang awal para mualaf. Ia adalah orang ketujuh yang memeluk Islam, sebuah pencapaian yang menandakan keberaniannya yang luar biasa di tengah lingkungan Mekah yang sangat memusuhi agama baru tersebut. Keislamannya terjadi pada usia yang masih sangat muda, sekitar tujuh belas tahun, sebuah periode di mana kaum Muslimin masih sangat tersembunyi dan rentan terhadap penganiayaan brutal dari kaum Quraisy.
Meskipun menerima kebenaran Islam dengan sepenuh hati, keimanannya segera diuji oleh sebuah konflik personal yang mendalam: konflik dengan ibunya. Ibunda Sa'd, yang sangat mencintainya, tidak dapat menerima keputusannya untuk meninggalkan agama nenek moyang. Dalam upaya putus asa untuk menariknya kembali ke paganisme, ibunya bersumpah untuk menolak makan dan minum hingga Sa'd kembali, atau hingga ia meninggal dunia karena kelaparan. Ini adalah taktik psikologis yang paling menyakitkan, menempatkan Sa'd di antara dua cinta: cinta kepada ibunya, yang darah dagingnya, dan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
Tragedi ini berlanjut. Ibunya terus berpuasa, tubuhnya melemah, dan Sa'd menghadapi tekanan sosial dan emosional yang tak tertanggungkan. Meskipun ia mencintai ibunya dengan segenap jiwa, ia tahu bahwa ketaatan kepada Sang Pencipta harus melampaui ketaatan kepada makhluk. Dalam sebuah dialog yang kini melegenda, Sa'd menatap ibunya dan dengan tegas menyatakan: "Wahai Ibuku, demi Allah, seandainya engkau memiliki seratus nyawa, lalu nyawa-nyawa itu keluar satu per satu (karena mogok makan), aku tidak akan meninggalkan agamaku ini sedikit pun."
Keteguhan hati Sa'd ini bukanlah bentuk durhaka, melainkan manifestasi dari pemahaman tauhid yang sempurna. Keputusannya yang teguh untuk memprioritaskan Allah di atas segalanya, bahkan di atas ikatan keluarga yang paling suci, menjadi contoh abadi bagi seluruh umat Muslim. Puncak dari kisah ini adalah turunnya wahyu Al-Qur'an yang membenarkan sikap Sa'd dan memberikan pedoman universal mengenai batas-batas ketaatan kepada orang tua. Ayat 15 dari Surah Luqman diturunkan: “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik...” Ayat ini melegitimasi iman Sa'd dan membebaskannya dari rasa bersalah. Ini adalah kehormatan spiritual yang luar biasa, di mana kisah pribadinya diabadikan dalam Kitab Suci hingga Hari Kiamat.
Sejak awal pergerakan Islam, Sa'd ibn Abi Waqqas dikenal sebagai ahli panah yang tak tertandingi. Keterampilan memanahnya bukan sekadar keahlian; itu adalah karunia ilahi yang diakui secara langsung oleh Rasulullah ﷺ. Dalam banyak pertempuran, terutama di saat-saat paling genting, Sa'd menjadi tumpuan harapan kaum Muslimin. Ia adalah satu-satunya orang yang, selama Pertempuran Uhud yang traumatis, didoakan secara khusus oleh Nabi Muhammad ﷺ.
Ketika pasukan Quraisy menyerang balik setelah kaum Muslimin lengah, situasi menjadi kacau. Nabi Muhammad ﷺ saat itu rentan, dan Sa'd melindungi beliau dengan hujan anak panah. Nabi ﷺ bersabda kepadanya, "Panahlah, Sa'd! Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu!" Pernyataan ini adalah kehormatan tertinggi, karena Nabi ﷺ tidak pernah mengucapkan kalimat seperti itu kepada sahabat lain selain kepada Sa'd, menunjukkan betapa krusialnya peran Sa'd dalam menyelamatkan nyawa Rasulullah pada hari itu. Doa Nabi, yang diucapkan dalam kepanikan perang, memiliki kekuatan profetik: "Ya Allah, luruskanlah bidikannya, dan kabulkanlah doanya."
Doa ini memiliki dampak yang abadi. Sa'd ibn Abi Waqqas kemudian dikenal sebagai sosok yang doanya mustajab (dikabulkan). Ia sangat berhati-hati dalam berdoa dan tidak pernah menggunakannya untuk kepentingan sepele, menyadari beratnya tanggung jawab atas karunia tersebut. Kemampuan Sa'd dalam memanah memberinya julukan Faris al-Islam (Ksatria Islam) dan menjadikannya pelopor dalam strategi militer Islam awal.
Keterlibatannya dalam jihad dimulai bahkan sebelum Badr. Sa'd memimpin ekspedisi kavaleri pertama dalam sejarah Islam, yang dikenal sebagai Sariyah Sa'd ibn Abi Waqqas. Meskipun ekspedisi ini tidak menghasilkan pertempuran frontal, ini menandai babak baru dalam pertahanan dan proaktifnya kaum Muslimin. Dalam Perang Badr, Sa'd menunjukkan keberaniannya, memastikan kemenangan kaum Muslimin atas musuh yang jauh lebih besar. Dalam Uhud, seperti yang telah disebutkan, ia adalah perisai hidup bagi Nabi.
Di setiap medan pertempuran, dari parit Khandaq hingga pengepungan benteng-benteng Yahudi, kehadiran Sa'd membawa ketenangan dan kepastian taktis. Ia bukan hanya penembak jitu; ia adalah komandan yang memahami moral pasukan dan strategi manuver. Seluruh pengalaman militer yang ia kumpulkan selama masa Nabi Muhammad ﷺ, baik dalam kemenangan maupun kekalahan yang pahit, adalah bekal yang kelak akan ia gunakan untuk menghadapi ancaman peradaban terbesar yang pernah dihadapi negara Islam muda: Kekaisaran Persia.
Setelah wafatnya Rasulullah ﷺ dan berlanjutnya masa Kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar ibn al-Khattab, dunia Islam bergerak ke tahap ekspansi (Futuh). Di timur, ancaman terbesar datang dari Kekaisaran Persia Sasanid, sebuah kekuatan yang berusia ribuan tahun dengan organisasi militer yang canggih dan kekayaan yang tak terhingga. Persia adalah raksasa yang harus dihadapi, dan kepemimpinan untuk tugas monumental ini jatuh ke tangan Sa'd ibn Abi Waqqas.
Khalifah Umar ibn al-Khattab, dengan wawasan strategisnya yang tajam, memilih Sa'd sebagai Panglima Tertinggi untuk front Timur. Pilihan ini bukanlah kebetulan. Umar membutuhkan seseorang yang bukan hanya berani, tetapi juga memiliki keteguhan iman yang diuji, serta kemampuan militer yang diakui secara ilahi. Sa'd memenuhi semua kriteria tersebut. Ia dikirim ke Irak dengan instruksi yang jelas: menghadapi Persia dan membuka gerbang menuju timur.
Pasukan Muslim berkumpul di Al-Qadisiyyah, sebuah daerah strategis di dekat perbatasan Persia. Pasukan Persia, yang dipimpin oleh panglima legendaris Rustam Farrokhzad, sangat superior dalam jumlah, persenjataan, dan yang paling menakutkan, mereka membawa gajah-gajah perang lapis baja, sebuah senjata yang belum pernah dihadapi oleh kavaleri Arab.
Pertempuran Qadisiyyah (636 M) adalah titik balik fundamental dalam sejarah dunia. Ini adalah bentrokan antara dua peradaban yang menentukan nasib Asia Barat selama seribu tahun ke depan. Sa'd ibn Abi Waqqas tiba di Qadisiyyah dalam kondisi yang menyulitkan: ia menderita penyakit parah (kemungkinan adalah bisul atau masalah pencernaan yang membuatnya sangat lemah) sehingga ia tidak dapat menunggang kuda atau memimpin dari garis depan. Ia terpaksa mengawasi pertempuran dari benteng kecil di belakang garis pertempuran, Qasr Sa'd, menggunakan utusan untuk menyampaikan perintah.
Meskipun kondisi fisiknya memburuk, keberanian spiritual dan ketajaman strategis Sa'd tetap utuh. Ia mengirim delegasi negosiasi kepada Rustam. Rustam, yang memandang rendah bangsa Arab yang dianggapnya primitif, menolak tawaran damai, yakin bahwa kekaisarannya tak terkalahkan. Sa'd pun bersiap untuk perang total.
Pertempuran dimulai dengan Rustam yang melancarkan serangan masif, menempatkan gajah-gajah perangnya di garis depan. Gajah-gajah ini menyebabkan kekacauan total di barisan Muslim. Kuda-kuda Arab, yang tidak terbiasa dengan pemandangan dan bau binatang raksasa itu, menjadi panik dan sulit dikendalikan. Sa'd, mengamati dari jauh, dengan cepat menyadari kelemahan ini. Ia memerintahkan para pemanah terbaik untuk menargetkan pawang gajah (mahout) dan bagian sensitif gajah.
Meskipun hari itu berakhir tanpa kemenangan yang jelas, kerugian yang diderita kaum Muslimin sangat besar. Sa'd menghabiskan malam itu merumuskan strategi untuk menghadapi gajah, menyadari bahwa senjata konvensional tidak akan cukup.
Bantuan datang dari Syam (Suriah) berupa bala bantuan yang dipimpin oleh Qa'qa' ibn Amr at-Tamimi, seorang ahli taktik brilian. Sa'd menggunakan taktik psikologis yang cerdas. Qa'qa' membagi pasukannya menjadi kelompok-kelompok kecil dan memerintahkan mereka untuk tiba satu per satu sepanjang hari, memberikan ilusi bahwa bala bantuan Muslim tak ada habisnya. Taktik ini mengacaukan moral Persia.
Pada hari ini, fokus utama Sa'd adalah menetralkan ancaman gajah. Qa'qa' dan pasukannya berhasil mengeksekusi rencana Sa'd: menargetkan mata dan belalai gajah-gajah Persia terpenting, khususnya gajah putih yang menjadi pemimpin kawanan. Ketika gajah-gajah itu terluka parah dan lari tak terkendali, mereka merusak barisan Persia sendiri, mengubah kekacauan Muslim di hari pertama menjadi kekacauan di pihak musuh.
Pertempuran di hari ketiga adalah yang paling brutal dan berlarut-larut. Kedua pihak mengalami kerugian besar. Sa'd menekankan pentingnya kesabaran dan ketahanan. Pada malam harinya, pertempuran tidak berhenti. Ini dikenal sebagai Laylat al-Harir (Malam Raungan/Menggigit), sebuah periode pertempuran tanpa henti di mana kedua belah pihak bertarung dalam kegelapan yang pekat, dengan suara pedang dan teriakan yang memekakkan telinga. Sa'd, meskipun sakit, terus memberikan motivasi dari pos komandonya, menyuntikkan semangat jihad ke dalam setiap prajurit.
Menjelang pagi hari keempat, moral Persia mulai runtuh di bawah tekanan malam yang mengerikan. Sa'd memerintahkan serangan terakhir yang terpusat. Qa'qa' ibn Amr, memimpin kavaleri, berhasil menyelinap ke posisi komando Rustam. Saat badai pasir tiba-tiba menyelimuti medan perang (sebuah kebetulan yang dianggap berkah oleh kaum Muslimin), kebingungan melanda markas Persia.
Rustam terbunuh dalam pertempuran pribadi ketika mencoba melarikan diri melintasi sungai. Kematian panglima tertinggi Persia menyebabkan kepanikan massal. Tentara Persia melarikan diri dalam kekacauan, dan kaum Muslimin mengejar mereka hingga ke tepi sungai. Panji-panji Islam dikibarkan di Qadisiyyah. Sa'd ibn Abi Waqqas, sang komandan yang bahkan tidak bisa berdiri karena sakit, telah memenangkan salah satu pertempuran paling menentukan dalam sejarah militer.
Alt: Bendera kemenangan yang berkibar, simbol jatuhnya kekaisaran Sasanid setelah Qadisiyyah.
Kemenangan di Qadisiyyah membuka jalan lebar menuju jantung Kekaisaran Persia. Target Sa'd berikutnya adalah Ctesiphon atau Madain, ibu kota Sasanid yang termasyhur, terletak di tepi Sungai Tigris. Madain adalah kota kemegahan kuno, pusat kekuasaan, dan simbol kejayaan Persia.
Perjalanan Sa'd menuju Madain penuh rintangan, tetapi semangat pasukannya kini tak terbendung. Ketika mereka tiba di hadapan Madain, pasukan Sasanid telah memotong semua jembatan, yakin bahwa Tigris adalah benteng alami yang tak bisa ditembus. Mereka mengejek kaum Muslimin, mengatakan bahwa Arab tidak akan pernah bisa melintasi perairan yang sedalam itu.
Namun, Sa'd ibn Abi Waqqas adalah seorang komandan dengan iman yang kokoh. Ia melihat situasi itu sebagai ujian dan kesempatan. Setelah berdoa, ia memerintahkan pasukannya, yang dipimpin oleh Qa'qa' dan pasukannya, untuk menyeberangi Sungai Tigris yang sedang pasang dengan kuda-kuda mereka. Ini adalah salah satu manuver militer paling luar biasa dalam sejarah, melintasi sungai yang deras sambil tetap mempertahankan formasi tempur.
Ketakutan mencekam hati para pembela Persia ketika mereka melihat ribuan kavaleri Muslim muncul dari air seolah-olah berjalan di atas permukaan sungai. Kekuatan magis atau ilahi yang mereka yakini menyertai kaum Muslimin menyebabkan perlawanan runtuh. Raja Persia, Yazdegerd III, melarikan diri, meninggalkan istana putihnya yang mewah. Sa'd memasuki Madain dan mendapati harta karun luar biasa, termasuk permata dan takhta yang megah, yang segera ia kirimkan kepada Khalifah Umar di Madinah.
Penaklukan Madain adalah akhir dari Kekaisaran Persia Sasanid sebagai kekuatan dominan. Namun, Madain, dengan kemegahan dan arsitektur batu-batuannya, dianggap tidak cocok untuk tempat tinggal permanen bagi pasukan Muslimin Arab, yang terbiasa dengan iklim gurun. Atas perintah Khalifah Umar, Sa'd ibn Abi Waqqas mendirikan sebuah kota garnisun baru, Kufa, di tepi Sungai Eufrat. Kufa segera menjadi pusat pemerintahan Islam di wilayah Irak dan basis operasi militer yang penting. Sa'd diangkat sebagai Gubernur (Amir) Kufa.
Sebagai Gubernur Kufa, Sa'd ibn Abi Waqqas menunjukkan kualitas kepemimpinan sipil yang sama baiknya dengan kepemimpinan militernya. Ia adalah administrator yang adil dan berhati-hati dalam penggunaan kekayaan publik. Namun, posisinya di Kufa tidaklah mudah. Kufa adalah kota yang ramai dan seringkali memberontak, diisi oleh berbagai suku dan faksi yang memiliki kepentingan politik yang berbeda.
Meskipun Sa'd dicintai oleh sebagian besar pasukan dan penduduk yang taat, ia menghadapi oposisi dari beberapa tokoh ambisius dan fitnah. Salah satu insiden paling terkenal terjadi di mana sekelompok orang, dipimpin oleh Sa'd ibn Malik, menuduhnya tidak memimpin salat dengan benar, tidak membagi jarahan secara adil, dan tidak berperang dengan gagah berani. Tuduhan-tuduhan ini sangat menyakitkan bagi seorang pahlawan yang dijamin Surga dan didoakan langsung oleh Nabi.
Khalifah Umar ibn al-Khattab, yang sangat menghormati Sa'd, menyelidiki masalah ini. Ia memanggil Sa'd ke Madinah untuk menjelaskan tuduhan tersebut. Sa'd dengan tenang membela dirinya, menjelaskan bahwa ia memimpin salat sesuai sunnah Nabi dan bahwa tuduhan itu hanyalah fitnah politik dari mereka yang iri. Umar akhirnya mengakui ketidakbersalahan Sa'd, namun, untuk meredam kekacauan di Kufa, Umar memutuskan untuk mencopot Sa'd dari jabatan gubernur, demi menjaga stabilitas politik, bukan karena ia melakukan kesalahan.
Sa'd menerima keputusan ini dengan kepasrahan yang luar biasa. Ia adalah contoh seorang Muslim yang mengutamakan kepentingan umat di atas kepentingan pribadinya, menjauhi perebutan kekuasaan. Ketika Umar hampir wafat, ia memasukkan Sa'd ibn Abi Waqqas ke dalam Dewan Syura yang bertugas memilih Khalifah berikutnya (Utsman ibn Affan terpilih).
Ketika kekacauan politik dan perang saudara (Fitnah Kubra) melanda umat Islam setelah pembunuhan Khalifah Utsman dan memuncak pada pertempuran antara Ali ibn Abi Thalib dan Muawiyah ibn Abi Sufyan, banyak sahabat besar dipaksa memilih pihak.
Sa'd ibn Abi Waqqas mengambil sikap yang tegas dan mulia: Netralitas. Ia menolak mengangkat pedangnya melawan Muslim lain. Ia melihat konflik tersebut sebagai ujian yang hanya akan mendatangkan kerugian bagi umat. Ketika ditanya mengapa ia tidak bergabung, ia menjawab dengan perumpamaan terkenal:
"Aku akan berdiri bagai pedang kayu. Jika aku diminta untuk memerangi saudaraku, aku akan mencabut pedang yang tidak memiliki mata pisau."
Sikap ini menunjukkan kedalaman pemahaman agamanya. Meskipun ia memiliki kemampuan militer untuk menjadi pemain kunci dalam konflik itu, ia memilih untuk mengisolasi diri, menghabiskan sisa hidupnya di lembah Al-Aqiq di dekat Madinah, jauh dari intrik politik dan pertumpahan darah. Ia mencurahkan waktunya untuk ibadah dan menjauhkan dirinya dari setiap langkah yang bisa memicu perpecahan lebih lanjut.
Keputusannya untuk tetap netral adalah salah satu kesaksian terbesar akan keutamaan moralnya. Ia adalah salah satu dari segelintir sahabat utama yang menahan diri dari konflik internal, menjaga tangannya tetap bersih dari darah Muslim, dan memprioritaskan persatuan spiritual di atas kemenangan politik faksi tertentu.
Sa'd ibn Abi Waqqas adalah sahabat terakhir dari Al-'Asyarah al-Mubasysyarun bi al-Jannah yang meninggal dunia. Ia wafat dalam ketenangan di lembah Al-Aqiq pada tahun 55 Hijriah (sekitar 675 Masehi). Pada saat kematiannya, ia berusia sekitar tujuh puluh tahun.
Ketika ia wafat, ia meminta agar ia dimakamkan dengan jubah wol yang lusuh yang ia kenakan saat Pertempuran Badr. Permintaan ini adalah pengingat yang kuat tentang kerendahan hatinya, meskipun ia telah meraih kekayaan dan kemuliaan duniawi sebagai penakluk Persia dan mantan gubernur. Ia ingin bertemu Tuhannya dalam pakaian yang melambangkan momen paling murni dan paling suci dalam perjuangannya, saat Islam masih lemah dan ia berjuang demi keyakinan semata.
Jenazahnya dibawa ke Madinah dan dimakamkan di pemakaman Jannatul Baqi'. Kematiannya menandai berakhirnya era penting, era di mana para pahlawan yang membentuk negara Islam pertama mulai meninggalkan panggung dunia.
Kehidupan Sa'd ibn Abi Waqqas adalah pelajaran yang kaya dalam berbagai aspek:
Pengaruh Sa'd ibn Abi Waqqas meluas jauh melampaui medan perang. Ia adalah salah satu penjamin kelangsungan Islam di timur, membuka gerbang untuk penyebaran ilmu pengetahuan dan peradaban Islam di wilayah yang kini dikenal sebagai Iran dan sekitarnya. Kota Kufa, yang ia dirikan, menjadi pusat intelektual dan politik yang mendominasi sejarah Islam awal.
Meskipun ia dihormati sebagai penakluk dan pahlawan, kisah Sa'd yang paling mendalam adalah kisah tentang perjuangan individu. Ia adalah seorang pria yang, melalui penyakit dan fitnah, tetap teguh pada janji yang ia buat di masa muda: bahwa tidak ada hal duniawi, bahkan cinta seorang ibu atau godaan kekuasaan, yang akan memisahkannya dari agamanya.
Sa'd ibn Abi Waqqas adalah pahlawan yang tidak mencari kemuliaan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk agamanya. Warisannya adalah cetak biru untuk kepemimpinan militer yang dipandu oleh moralitas yang tinggi dan ketakwaan yang tak tergoyahkan. Ia berdiri sebagai salah satu dari sedikit manusia yang disaksikan oleh Rasulullah ﷺ sendiri bahwa mereka pasti akan memasuki surga, sebuah kehormatan yang tak terlukiskan dan sebuah pengakuan atas totalitas pengabdiannya kepada Islam. Dalam setiap aspek kehidupannya, ia adalah teladan, sang ksatria panah yang panah-panahnya mengukir jalan peradaban.
Kisah ini menegaskan kembali bahwa kekuatan terbesar bukanlah pada jumlah tentara atau kekayaan harta benda, melainkan pada keteguhan hati dan kualitas iman sang pemimpin. Sa'd ibn Abi Waqqas, yang berdiri di posnya yang sakit, namun mengendalikan empat hari teror di Qadisiyyah, adalah bukti abadi bahwa janji Allah tentang pertolongan bagi orang-orang beriman adalah sebuah kenyataan historis yang monumental.
Untuk memahami sepenuhnya kejeniusan Sa'd, kita harus menyelami lebih dalam detail taktis di Qadisiyyah, yang sering kali terabaikan. Sa'd bukan hanya menghadapi pasukan infanteri dan kavaleri Persia, tetapi juga menghadapi sistem militer yang didukung oleh disiplin ribuan tahun. Rustam, komandan Persia, adalah seorang ahli strategi yang memegang kendali atas banyak negara vasal, termasuk tentara dari wilayah modern Azerbaijan, Kurdi, dan lainnya.
Sa'd, meskipun menderita sakit parah, menunjukkan kemampuan manajemen krisis yang luar biasa. Kunci dari strateginya adalah disentralisasi komando taktis di lapangan sambil mempertahankan otoritas strategis di bentengnya. Ia mendelegasikan perintah kritis kepada komandan garis depan yang paling cakap, terutama Qa'qa' ibn Amr, memungkinkannya bereaksi cepat terhadap dinamika medan perang.
Pada hari pertama (Armath), ketika gajah-gajah Persia menyebabkan kepanikan, Sa'd segera menyadari bahwa senjata jarak jauh (panah) dan unit infanteri yang fokus pada titik lemah gajah adalah satu-satunya solusi. Ia tidak panik, melainkan mengeluarkan perintah yang presisi: fokuskan serangan pada belalai dan mata. Ini adalah perintah yang menunjukkan pemahaman anatomis musuh yang mendalam, bukan hanya respons emosional.
Taktik Qa'qa' pada hari kedua, membagi bala bantuan Syam menjadi kelompok-kelompok kecil, adalah masterstroke psikologis yang disetujui oleh Sa'd. Ini menunjukkan bahwa Sa'd memahami pentingnya perang informasi. Musuh yang yakin sedang menghadapi aliran bala bantuan yang tak terbatas akan kehilangan semangat juangnya jauh lebih cepat daripada musuh yang hanya menghadapi satu serangan besar.
Keputusan untuk melakukan Laylat al-Harir, atau pertempuran malam hari yang berkepanjangan, menunjukkan kekejaman dan ketahanan psikologis Sa'd. Pertempuran malam sangat jarang terjadi dalam perang kuno karena risiko serangan balik yang tidak disengaja. Namun, Sa'd tahu bahwa prajurit Persia lebih terbiasa dengan struktur formal dan rutinitas, sementara pejuang Arab lebih tangkas dan terbiasa bertempur dalam kondisi keras. Memperpanjang pertempuran hingga malam hari akan memaksimalkan kelelahan dan kebingungan di pihak Persia, yang pada akhirnya terbukti benar.
Bahkan unsur alam, badai pasir pada hari keempat, tampaknya melayani strategi Sa'd. Ketika badai pasir datang dari arah barat (arah Muslim) menuju timur (arah Persia), ia bertindak sebagai tirai asap yang memberikan perlindungan bagi kavaleri Muslim yang melakukan serangan terakhir, sementara pada saat yang sama, badai itu membutakan dan memecah formasi inti Rustam. Ini adalah contoh di mana keimanan Sa'd, yang termanifestasi dalam doanya, bersinergi dengan keberanian taktis di lapangan.
Sa'd ibn Abi Waqqas memiliki hubungan yang unik dan penuh penghormatan dengan tiga Khalifah Rasyidin pertama, yang semuanya menghargai keutamaan dan statusnya yang dijamin Surga:
Selama masa kekhalifahan Abu Bakar, Sa'd terlibat dalam perang Riddah (kemurtadan), menunjukkan loyalitasnya yang teguh kepada kepemimpinan yang sah. Abu Bakar sangat mengandalkan Sa'd karena ia adalah salah satu mualaf paling awal dan seorang ksatria yang dihormati di antara suku Quraisy.
Hubungan dengan Umar adalah yang paling kompleks tetapi juga yang paling erat dari segi profesional. Umar menunjuk Sa'd untuk tugas terberat: penaklukan Persia. Umar memiliki standar yang sangat tinggi dan tidak ragu untuk mencopot gubernur manapun yang dianggap gagal atau menjadi sumber perselisihan, bahkan jika ia adalah sahabat besar. Keputusan Umar untuk mencopot Sa'd dari Kufa, meskipun ia mengakui Sa'd tidak bersalah, adalah tindakan pragmatisme politik demi stabilitas. Namun, penghormatan Umar terhadap Sa'd tidak pernah pudar. Faktanya, Umar memilih Sa'd sebagai salah satu dari enam anggota Dewan Syura yang akan memilih penggantinya, menunjukkan bahwa ia tetap menganggap Sa'd sebagai salah satu pilar moral dan politik tertinggi umat.
Sa'd adalah salah satu pendukung kuat Utsman. Setelah Utsman terpilih, ia sempat mengangkat Sa'd kembali menjadi Gubernur Kufa, mengakui kemampuannya untuk memimpin wilayah yang sulit. Namun, karena intrik internal Kufa dan ketidakstabilan yang terus-menerus, Sa'd kembali dicopot setelah masa jabatan singkat. Meskipun demikian, Sa'd tetap loyal kepada Utsman, dan setelah pembunuhan Utsman, ia memilih jalur isolasi, menolak untuk mendukung pihak manapun yang terlibat dalam pertumpahan darah yang ia yakini tidak sah.
Melalui semua masa transisi yang bergolak ini, dari kekacauan Mekah, kejayaan militer di Qadisiyyah, hingga intrik di Kufa, Sa'd ibn Abi Waqqas mempertahankan reputasinya sebagai seorang yang berpegang teguh pada prinsip, jauh dari ambisi duniawi yang merusak. Ia tidak pernah menggunakan karisma dan kekuatannya untuk membangun faksi atau memaksakan kehendaknya. Seluruh hidupnya adalah manifestasi dari ayat Al-Qur'an yang diturunkan untuknya: ketaatan kepada Allah melampaui segala-galanya.
Sa'd ibn Abi Waqqas, sang pemanah yang doanya dikabulkan, sang penakluk yang mendirikan Kufa, dan sang negarawan yang memilih isolasi di saat fitnah, tetap menjadi salah satu contoh paling cemerlang dari generasi pertama umat Islam. Keberaniannya di masa muda, kejeniusannya di medan perang, dan kearifannya di masa tua membentuk sebuah warisan yang monumental dan abadi, menjadi bukti nyata akan keutamaan yang dijanjikan Surga.