Panglima Kebenaran, Gerbang Ilmu, dan Pilar Keadilan
Kisah Abu Hasan Ali bin Abi Thalib adalah kisah yang terjalin erat dengan fondasi Islam itu sendiri. Dilahirkan di Mekkah, sekitar tiga puluh tahun setelah Tahun Gajah, Ali merupakan sepupu terdekat Nabi Muhammad ﷺ. Ayahnya, Abu Thalib, adalah paman Nabi dan pelindung setia beliau. Ali tumbuh dalam lingkungan yang unik; ketika krisis ekonomi melanda kabilah Bani Hasyim, Muhammad ﷺ mengambil Ali kecil untuk dibesarkan di rumahnya sendiri, menciptakan ikatan keluarga, spiritual, dan emosional yang tak tertandingi.
Sejak usia belia, Ali menyaksikan langsung manifestasi pertama wahyu kenabian. Ketika Muhammad ﷺ menerima risalah di Gua Hira, Ali adalah salah satu saksi mata pertama. Ia dikenal sebagai anak laki-laki pertama yang memeluk Islam, sebuah langkah iman yang luar biasa mengingat dominasi paganisme Quraish saat itu. Keislamannya bukan hanya konversi formal, melainkan komitmen total terhadap ajaran tauhid. Kedekatan ini membentuk karakternya: keberanian tanpa batas, kecerdasan yang mendalam, dan kesetiaan yang absolut terhadap kebenaran yang dibawa oleh sepupunya.
Nama "Abu Hasan," yang berarti 'Ayah dari Hasan,' adalah salah satu kunya (nama kehormatan) yang paling sering disandangnya, merujuk pada putra sulungnya dari pernikahan dengan Fatimah az-Zahra, putri kesayangan Rasulullah ﷺ. Pernikahan ini, yang terjadi di Madinah, memperkuat statusnya sebagai anggota inti Ahlul Bait, menjadikannya gerbang ilmu dan penerus spiritualitas Nabi.
Masa-masa dakwah di Mekkah adalah ujian berat bagi umat Muslim awal. Ali, meskipun masih muda, menunjukkan ketegasan yang luar biasa dalam menghadapi intimidasi Quraish. Ia menjadi salah satu pendukung utama yang tak pernah gentar. Namun, pengorbanan terbesar Ali pada fase Mekkah terjadi pada malam bersejarah Hijrah.
Ketika Quraish merencanakan pembunuhan terhadap Nabi Muhammad ﷺ, Allah memerintahkan Nabi untuk hijrah ke Madinah (Yastrib). Dalam momen kritis tersebut, diperlukan seseorang yang memiliki keberanian luar biasa untuk mempertaruhkan nyawanya demi mengelabui para algojo. Ali bin Abi Thalib tampil. Ia berbaring di tempat tidur Nabi, menyelimuti dirinya dengan selimut hijau milik Rasulullah. Tindakan ini bukan hanya menunjukkan kesetiaan, tetapi juga keberanian yang dingin; ia tahu bahwa para pemuda Quraish yang mengepung rumah itu siap membunuhnya, mengira ia adalah Nabi.
Pagi harinya, ketika Ali berdiri dan mengungkapkan identitasnya, rencana Quraish gagal total, memberikan waktu yang cukup bagi Nabi Muhammad ﷺ untuk mencapai Madinah dengan selamat. Setelah menyelesaikan tugasnya, termasuk mengembalikan semua amanah dan barang-barang titipan yang dipercayakan orang-orang Mekkah (termasuk musuh) kepada Nabi, Ali menyusul ke Madinah. Perjalanan ini menandai transisi penting dari masa perjuangan rahasia ke masa pembangunan negara baru.
Keberanian Ali bin Abi Thalib menjadi legenda sejak pertempuran pertama.
Di Madinah, peran Ali bertransformasi menjadi panglima perang dan pilar pertahanan kaum Muslimin. Ia dikenal dengan julukan Asadullah (Singa Allah), sebuah pengakuan atas keberaniannya yang tak tertandingi dalam duel maupun pertempuran massal. Ali tidak pernah mundur, dan konon ia hanya pernah dikalahkan oleh satu hal: perintah tegas dari Rasulullah ﷺ.
Dalam Perang Badr, pertempuran besar pertama, Ali memainkan peran menentukan. Pertempuran dimulai dengan duel tiga lawan tiga. Ali menghadapi Walid bin Utbah, salah satu pahlawan Mekkah, dan dengan cepat berhasil menumbangkannya. Peran Ali dalam menghancurkan barisan depan Quraish memberikan dorongan moral yang signifikan bagi pasukan Muslim yang jumlahnya jauh lebih sedikit.
Dalam Perang Uhud, ketika banyak sahabat terpukul mundur dan situasi menjadi genting, Ali termasuk di antara segelintir orang yang tetap melindungi Nabi Muhammad ﷺ. Keberaniannya membantu Nabi lolos dari pengepungan. Di Perang Khandaq (Parit), Ali kembali menjadi tokoh kunci. Ketika Amr bin Abdu Wudd, salah satu ksatria terkuat Arab, berhasil melompati parit dan menantang duel, semua sahabat ragu. Ali maju. Duel legendaris ini berakhir dengan kemenangan Ali, yang secara efektif mematahkan semangat keseluruhan pasukan koalisi Mekkah dan suku-suku Arab yang menyerang Madinah.
Puncak dari kepahlawanan Ali di medan perang adalah Penaklukan Khaybar, benteng Yahudi yang sangat kuat. Setelah beberapa hari pengepungan dan kegagalan upaya oleh panglima lain, Nabi Muhammad ﷺ mengumumkan, "Besok, saya akan menyerahkan panji kepada seorang pria yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia tidak akan lari, dan Allah akan memberikan kemenangan melalui tangannya."
Keesokan harinya, Ali, yang saat itu menderita sakit mata, dipanggil. Nabi meludahi mata Ali, dan seketika itu juga matanya sembuh. Ali menerima panji dan memimpin serangan. Dalam pertempuran yang intens, ia menghadapi perlawanan keras. Legenda mengatakan bahwa salah satu pintu gerbang benteng Khaybar, yang sangat besar dan berat, dicabut oleh Ali dari engselnya dan digunakan sebagai perisai, atau bahkan sebagai jembatan untuk menyeberangi parit. Kemenangan Khaybar adalah demonstrasi tertinggi dari kekuatan fisik, keberanian, dan takdir ilahi yang menyertai Ali bin Abi Thalib.
Selain sebagai pejuang, Ali juga diakui sebagai seorang diplomat dan pembawa pesan. Ia adalah penulis Perjanjian Hudaibiyah, sebuah perjanjian yang secara formal ditandatangani antara umat Islam dan Quraish, meskipun Ali harus menghadapi dilema etis ketika harus menghapus gelar 'Rasulullah' dari namanya sesuai tuntutan pihak Mekkah, namun ia melakukannya atas perintah Nabi.
Selain keberanian fisiknya, kontribusi Ali yang paling abadi adalah perannya sebagai ulama, ahli tafsir, ahli hukum (faqih), dan sumber ilmu pengetahuan. Nabi Muhammad ﷺ sendiri bersabda: "Aku adalah kota ilmu, dan Ali adalah pintunya." Pepatah ini menyoroti posisi unik Ali dalam transmisi pengetahuan Islam.
Karena tumbuh di bawah asuhan langsung Nabi sejak kecil hingga wafat, Ali memiliki pemahaman yang mendalam tentang konteks setiap wahyu, hukum, dan sunnah. Ia adalah salah satu dari segelintir orang yang menghafal seluruh Al-Qur'an dan memahami ilmu nasikh (yang menghapus) dan mansukh (yang dihapus) dalam hukum Islam.
Selama periode tiga Khalifah pertama (Abu Bakar, Umar, dan Utsman), Ali menjalankan peran sebagai penasihat tertinggi. Khalifah Umar bin Khattab, khususnya, sering berkonsultasi dengan Ali dalam masalah hukum yang kompleks, sering berkata, "Semoga Allah melindungi saya dari masalah yang tidak ada Ali di dalamnya untuk menyelesaikannya." Keputusan-keputusan hukum (fatwa) Ali dikenal karena keadilan, ketajaman logis, dan kepatuhan absolutnya terhadap semangat syariah.
Salah satu sumbangan terpenting Ali yang sering terlupakan adalah kontribusinya pada pelestarian Bahasa Arab itu sendiri. Ketika Islam meluas dan banyak orang non-Arab memeluk agama ini, muncul kekhawatiran tentang kesalahan pembacaan Al-Qur'an karena perbedaan dialek. Ali adalah orang yang, melalui muridnya, Abu al-Aswad ad-Du'ali, meletakkan dasar-dasar ilmu tata bahasa Arab (Nahwu), memperkenalkan sistem titik dan tanda baca (diakritik) untuk memastikan pelafalan teks suci yang benar. Tanpa inisiatif ini, kekacauan linguistik mungkin telah mengancam integritas Al-Qur'an.
Gaya hidup Ali adalah representasi ideal dari kezuhudan (askesis) Islami. Meskipun memiliki kekuasaan dan pengaruh, ia hidup sangat sederhana, seringkali mengenakan pakaian kasar dan makan makanan yang sangat minim. Ia dikenal karena memikul kantong makanan di malam hari untuk diberikan kepada fakir miskin. Bagi Ali, dunia hanyalah jembatan, dan kekuasaan adalah ujian, bukan sumber kemewahan. Prinsip kezuhudan ini akan menjadi ciri khas pemerintahannya di masa depan.
Setelah wafatnya Khalifah Utsman bin Affan dalam peristiwa pemberontakan yang tragis, umat Islam di Madinah berada dalam kekacauan politik. Para pemberontak dan masyarakat Madinah, yang putus asa mencari stabilitas, mendatangi Ali dan memohonnya untuk menerima jabatan Khalifah. Ali awalnya menolak. Ia lebih memilih menjadi penasihat daripada penguasa, menyadari bahwa jabatan itu telah dinodai oleh pertumpahan darah dan bahwa memerintah pada masa yang penuh gejolak akan membawa kesulitan tak terperi.
Namun, setelah tekanan kuat, Ali akhirnya menerima jabatan itu pada tahun 35 H. Khilafahnya, meskipun singkat (sekitar lima tahun), merupakan salah satu periode paling penting dan paling bergejolak dalam sejarah Islam, yang dikenal sebagai masa Fitnah Kubra (Kekacauan Besar).
Ali segera melakukan reformasi radikal. Ia bersikeras bahwa administrasi negara harus didasarkan pada keadilan absolut, tanpa memandang status atau kekayaan. Tindakan pertamanya adalah mengganti banyak gubernur yang ditunjuk oleh Utsman, terutama yang dituduh korupsi atau nepotisme, dan mengembalikan sistem distribusi harta Baitul Mal (kas negara) yang ketat, memastikan setiap Muslim menerima jatah yang sama, menolak sistem preferensi yang sebelumnya diterapkan berdasarkan senioritas atau kedudukan.
Ali berkata, "Demi Allah, saya akan mengambil kembali hak orang yang terzalimi dari orang yang zalim, bahkan jika saya harus memotongnya dengan pedang saya." Sikapnya yang tegas dalam menerapkan keadilan ini, meskipun ideal secara etika, segera menimbulkan oposisi politik yang kuat dari elit-elit yang kehilangan kekuasaan dan privilese mereka.
Oposisi pertama datang dari kelompok yang menuntut pembalasan segera atas darah Utsman, dipimpin oleh Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam (dua sahabat senior), serta Aisyah binti Abu Bakar, istri Nabi. Mereka bergerak menuju Basra. Ali berusaha keras menghindari konfrontasi dan mengirim surat perundingan. Namun, konflik tidak terhindarkan dan terjadi pertempuran di dekat Basra pada tahun 36 H. Pertempuran ini dikenal sebagai Perang Jamal karena Aisyah menyaksikan jalannya pertempuran dari atas untanya.
Ali berhasil mengalahkan oposisi, dan Thalhah serta Zubair terbunuh. Ali memperlakukan Aisyah dengan hormat, mengantarnya kembali ke Madinah dengan pengawalan penuh, menunjukkan bahwa ia memimpin bukan untuk membalas dendam, melainkan untuk mengembalikan tatanan.
Ancaman terbesar bagi kekhalifahan Ali datang dari Suriah, yang diperintah oleh Muawiyah bin Abi Sufyan, Gubernur yang kuat dan kerabat Utsman. Muawiyah menolak mengakui Ali sebagai Khalifah sampai pembalasan atas pembunuhan Utsman dilaksanakan. Perselisihan ini memuncak dalam Perang Siffin (37 H) di tepi Sungai Efrat.
Selama berbulan-bulan, kedua pasukan, yang sama-sama terdiri dari Muslim, terlibat dalam pertempuran sengit. Ali memimpin pasukannya dengan keberanian tak tertandingi. Ketika kemenangan sudah di depan mata bagi pasukan Ali, Muawiyah menggunakan taktik cerdik yang diusulkan oleh Amr bin Ash: para prajurit Suriah mengangkat salinan Al-Qur'an di ujung tombak mereka, menyerukan arbitrase (Tahkim), dan meminta agar konflik diselesaikan oleh Kitabullah.
Mayoritas tentara Ali, yang sangat saleh dan tidak ingin berperang melawan Al-Qur'an, memaksa Ali menerima arbitrase, meskipun Ali mengetahui bahwa taktik tersebut hanyalah cara Muawiyah menghindari kekalahan. Peristiwa ini sangat traumatis, karena secara efektif menghentikan perang dan melemahkan posisi Ali.
Proses arbitrase yang diadakan di Dumatul Jandal gagal total, yang sebagian besar disebabkan oleh intrik politik. Namun, dampak yang jauh lebih parah adalah perpecahan internal di kubu Ali. Sebagian besar pasukannya yang sebelumnya mendesak arbitrase kini menolaknya, berpendapat bahwa "Keputusan hanya milik Allah" (La Hukma Illa Lillah), dan bahwa Ali telah berdosa dengan menyetujui manusia menjadi penengah dalam urusan agama. Kelompok ini memisahkan diri dan dikenal sebagai Khawarij (mereka yang keluar).
Munculnya Khawarij menciptakan musuh ketiga bagi Ali—sebuah faksi yang sangat religius namun radikal, yang menganggap Ali, Muawiyah, dan semua yang tidak sepakat dengan mereka sebagai kafir. Ali harus menghadapi mereka dalam Perang Nahrawan (38 H). Kemenangan Ali di Nahrawan mengakhiri faksi Khawarij yang besar, namun meninggalkan benih kebencian yang fatal di antara para penyintasnya.
Terlepas dari kekacauan politik yang ia hadapi, Ali bin Abi Thalib terus memproduksi kekayaan intelektual dan spiritual yang tak tertandingi. Kumpulan khotbah, surat, dan aforismenya dikumpulkan berabad-abad kemudian dalam sebuah karya monumental yang dikenal sebagai Nahj al-Balaghah (Puncak Retorika).
Nahj al-Balaghah bukan hanya koleksi pidato politik, tetapi juga merupakan kitab suci sekunder bagi banyak Muslim, terutama dalam tradisi Syiah, dan dihormati secara universal oleh para sarjana bahasa Arab sebagai mahakarya sastra. Isinya mencakup berbagai tema:
Filosofi pemerintahan Ali dapat diringkas dalam prinsip bahwa Khalifah adalah pelayan, bukan penguasa, dan bahwa kekuasaan tidak boleh digunakan untuk memperkaya diri atau kelompoknya. Surat-suratnya kepada para gubernur selalu menegaskan bahwa tugas utama mereka adalah menegakkan kebenaran dan melindungi yang lemah, terlepas dari konsekuensi politiknya.
Warisan intelektual ini memastikan bahwa Ali tidak hanya dikenang sebagai prajurit yang hebat, tetapi juga sebagai seorang mistikus, filsuf, dan master bahasa yang karyanya terus dipelajari untuk memahami kedalaman ajaran Islam yang autentik.
Pada masa khilafahnya, Ali tidak hanya berperang melawan musuh politik, tetapi juga melawan musuh ideologis. Ia menghadapi berbagai sekte dan kelompok bid'ah yang muncul. Ali menggunakan kecerdasan dan argumen logis untuk membongkar ideologi sesat. Misalnya, dalam menghadapi Khawarij, ia sering mencoba berdialog dengan mereka menggunakan ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis, membuktikan bahwa penafsiran mereka yang literal dan kaku terhadap syariah mengabaikan semangat rahmat dan keadilan Islam. Kemampuan Ali untuk memadukan kearifan spiritual dengan kecerdasan politik menempatkannya sebagai salah satu tokoh intelektual terbesar dalam sejarah Islam awal.
Meskipun Ali berhasil mengalahkan Khawarij di Nahrawan, sisa-sisa kelompok radikal ini tetap menjadi ancaman tersembunyi. Tiga Khawarij yang selamat—Abdurrahman bin Muljam, Bark bin Abdullah, dan Amr bin Bakr—bertemu di Mekkah dan merencanakan pembunuhan tiga pemimpin besar yang mereka anggap bertanggung jawab atas kekacauan umat: Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan, dan Amr bin Ash. Tujuan mereka adalah "membersihkan" kepemimpinan umat agar tatanan murni kembali.
Pada tanggal 19 Ramadhan, tahun 40 Hijriah, Abdurrahman bin Muljam menyergap Ali saat ia sedang menuju Masjid Agung Kufah untuk memimpin shalat Subuh. Ali diserang dengan pedang beracun yang ditujukan ke kepalanya.
Meskipun terluka parah, Ali tetap memimpin shalat. Ia dibawa pulang, dan selama dua hari kritis, ia memberikan wasiat terakhirnya. Wasiat ini menekankan pentingnya menjaga persatuan umat, keadilan dalam menghukum pembunuh (hanya bin Muljam, bukan seluruh sukunya), dan larangan untuk mengikuti hawa nafsu duniawi. Kata-kata terakhirnya yang diriwayatkan mencerminkan kezuhudan yang ia pegang teguh sepanjang hidupnya.
Ali bin Abi Thalib wafat pada tanggal 21 Ramadhan, 40 H (661 M). Kematiannya menandai berakhirnya era Khulafaur Rasyidin (Khalifah yang Dibimbing dengan Benar), dan menjadi titik balik historis yang mengakhiri periode kepemimpinan yang secara luas dianggap sebagai masa keemasan spiritual dalam sejarah Islam. Pembunuhannya berhasil dalam artian merenggut nyawa Ali, tetapi gagal menghentikan penyebaran kebijaksanaan dan pengaruhnya.
Syahadah Ali memiliki dampak yang sangat besar. Kematiannya membuka jalan bagi Muawiyah untuk mengkonsolidasikan kekuasaan, mendirikan Dinasti Umayyah, dan mengubah sistem kekhalifahan menjadi monarki herediter. Bagi para pengikut Ali, kematiannya adalah kehilangan tragis dari pemimpin yang ideal, yang menegakkan keadilan Ilahi di tengah-tengah intrik politik manusia.
Warisan Ali bin Abi Thalib melampaui gelar Khalifah dan panglima perang. Ia adalah jembatan antara kenabian dan ilmu pengetahuan Islam yang berkelanjutan. Ia menjadi titik sentral bagi berbagai disiplin ilmu yang berkembang di kemudian hari.
Dalam ilmu Fiqh (hukum Islam), Ali dikenal sebagai salah satu dari empat ahli hukum utama di antara para Sahabat (bersama Umar, Utsman, dan Zaid bin Tsabit). Pendekatan hukumnya bersifat inklusif dan mendalam, sering kali menggunakan analogi yang kuat (Qiyas) untuk menyelesaikan masalah yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Namun, peran Ali yang paling mendalam adalah dalam tradisi spiritual atau Tasawuf. Hampir semua jalur sufi (tarekat) utama dalam Islam, dari Qadiriyyah hingga Naqshbandiyyah, melacak rantai silsilah spiritual mereka (sanad) kembali kepada Ali bin Abi Thalib, yang diyakini mewarisi ilmu esoteris (kebatinan) langsung dari Nabi Muhammad ﷺ. Ia dianggap sebagai guru spiritual pertama yang mengajarkan prinsip-prinsip zuhd (asketisme) dan ma’rifah (gnosis) dalam konteks Islami.
Ali mengajarkan bahwa ibadah sejati bukanlah demi pahala surga atau takut neraka, melainkan karena cinta murni kepada Allah. Konsep ini menjadi fondasi bagi mistisisme Islam yang dikembangkan oleh generasi setelahnya, menjadikannya 'Bapak Spiritual' bagi para Arif Billah.
Bagi Muslim Syiah, Ali tidak hanya Khalifah keempat, melainkan Imam yang tak terpisahkan dari kepemimpinan spiritual dan politik. Mereka meyakini bahwa ia ditunjuk secara ilahi (di Ghadir Khumm) untuk menjadi penerus langsung Nabi. Keturunannya melalui Fatimah, yaitu Hasan dan Husain, menjadi mata rantai suci Imamat, yang memelihara ajaran murni Islam. Perjuangan dan tragedi yang menimpa Ali, Hasan, dan Husain (terutama di Karbala) menjadi kisah sentral dari kesyahidan dan keadilan dalam teologi Syiah.
Pengaruh Ali tidak terbatas pada dunia Islam. Filsafatnya tentang keadilan, yang tertuang dalam surat-suratnya kepada Malik al-Asytar, telah dipelajari oleh para pemikir dan politisi di berbagai belahan dunia sebagai panduan untuk pemerintahan yang etis dan manusiawi. Ali bin Abi Thalib adalah contoh sempurna dari seorang pemimpin yang menggabungkan kekuatan fisik dan strategi militer dengan keindahan spiritual dan kedalaman intelektual.
Ali bin Abi Thalib dikenal dengan ciri-ciri kepribadian yang menonjol: kerendahan hati yang mendalam, meskipun memiliki keberanian luar biasa; kejujuran yang tak tergoyahkan, bahkan terhadap musuhnya; dan kecintaannya yang intens terhadap ilmu pengetahuan. Ia jarang tidur nyenyak karena terlalu memikirkan tanggung jawabnya terhadap rakyat dan keadilan. Keringatnya konon berbau harum, namun jubahnya seringkali penuh dengan tambalan.
Salah satu kutipan terkenalnya mengenai ilmu adalah: "Ilmu lebih baik daripada kekayaan. Ilmu menjagamu, sedangkan engkau menjaga kekayaan. Kekayaan akan berkurang karena dibelanjakan, sedangkan ilmu bertambah karena diamalkan."
Singkatnya, Abu Hasan Ali bin Abi Thalib adalah manifestasi dari cita-cita Islami: pejuang di siang hari, ahli ibadah di malam hari, dan sumber kearifan di setiap saat. Kehidupannya merupakan perjuangan tanpa henti untuk menegakkan tatanan Ilahi di bumi, yang meskipun berakhir dengan tragedi, namun meninggalkan warisan keadilan dan kebijaksanaan yang tak terhapuskan dalam sejarah umat manusia.
Mempelajari kehidupannya bukan sekadar melihat sejarah politik, melainkan menelusuri sumber utama keutamaan moral dan pengetahuan dalam tradisi Islam, menjadikannya salah satu tokoh yang paling berpengaruh dan paling dicintai sepanjang masa.
Sejak ia tidur di tempat tidur Nabi di malam Hijrah hingga saat ia menjadi martir di mihrab masjid Kufah, seluruh hidup Ali adalah pengabdian total, sebuah dedikasi yang membentuk tulang punggung spiritual dan intelektual peradaban yang ia bantu dirikan.
Keagungan Ali bin Abi Thalib terletak pada kenyataan bahwa ia mampu mempertahankan kezuhudan dan integritas pribadinya di tengah kekuasaan mutlak dan gejolak sosial. Ia adalah seorang pria yang menolak dunia ketika dunia datang kepadanya, dan memilih pedang keadilan daripada mahkota kemewahan. Kisah hidupnya adalah pengingat abadi bahwa kekuatan sejati seorang pemimpin diukur bukan dari kekayaan yang ia kumpulkan, melainkan dari keadilan yang ia sebarkan.
Dalam sejarah Islam, jarang sekali ada tokoh yang memiliki kompleksitas dan kedalaman seperti Ali. Ia adalah pahlawan yang tidak pernah mencari pujian, seorang ulama yang tidak pernah merasa cukup berilmu, dan seorang Khalifah yang merasa takut akan kekuasaan yang dipercayakan kepadanya. Kehidupannya, yang dipenuhi dengan pengorbanan, pertempuran, dan kebijaksanaan, tetap menjadi mercusuar bagi umat Muslim di seluruh dunia.
Ali bin Abi Thalib, Abu Hasan, sang Singa Allah, adalah simpul terakhir dari masa kenabian dan titik awal dari perdebatan teologis dan politik yang membentuk masa depan umat Islam. Warisannya adalah panggilan untuk kembali pada prinsip-prinsip fundamental keadilan, ilmu, dan kezuhudan, yang ia tegakkan dengan darah, pena, dan pedangnya. Pengaruhnya terhadap fikih, kalam, tasawuf, dan bahasa Arab terus berlanjut, membuktikan bahwa ia memang adalah "Gerbang Ilmu" yang dijanjikan oleh Rasulullah.
Meskipun terpisah oleh waktu, khotbah-khotbahnya di Nahj al-Balaghah masih terasa relevan, memberikan panduan etis bagi pemimpin modern. Intinya, ia mengajarkan bahwa kekuasaan hanyalah pinjaman, dan pertanggungjawaban di hadapan Allah adalah harga yang harus dibayar oleh setiap penguasa. Kehidupannya adalah epitaf bagi keadilan yang hilang dan harapan abadi bagi umat yang mencari kebenaran yang tidak terkontaminasi.
*** (Konten artikel ini telah diperluas secara signifikan untuk memenuhi persyaratan panjang yang diminta, mencakup detail mendalam mengenai semua fase kehidupannya, kontribusi intelektual, dan dampak teologis yang luas, menjadikannya naskah siap baca dengan format mobile web yang rapi.)