Mendalami Khazanah Pemikiran Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Quraish Shihab, yang sering disapa dengan penuh hormat sebagai Abi Shihab, bukanlah sekadar seorang ulama; ia adalah jembatan antara teks-teks klasik Islam dengan realitas kehidupan kontemporer Indonesia. Kehadirannya dalam lanskap keilmuan Islam modern ditandai dengan kedalaman wawasan linguistik, kekayaan metodologi tafsir, dan komitmen teguh terhadap nilai-nilai moderasi (wasatiyyah). Artikel ini bertujuan untuk menelusuri secara komprehensif seluruh spektrum pemikirannya, mulai dari latar belakang pendidikan yang membentuknya, karya monumental yang ia tinggalkan, hingga warisan intelektualnya yang tak terhapuskan bagi peradaban keagamaan di Nusantara.
Sebagai seorang mufassir, Abi Shihab memiliki kekhasan yang membedakannya dari generasi ulama sebelumnya. Ia berhasil meruntuhkan dinding tebal yang seringkali memisahkan kajian keagamaan yang mendalam dari khalayak umum. Dengan bahasa yang lentur, santun, dan mudah dipahami, ia membawa diskursus Al-Qur'an dari menara gading akademik ke ruang tamu masyarakat awam, mengubah persepsi bahwa tafsir hanyalah wilayah eksklusif para sarjana. Pendekatan ini merupakan kunci mengapa pandangan-pandangannya sangat berpengaruh, bahkan dalam isu-isu sensitif yang melibatkan agama dan negara.
Jejak intelektual Abi Shihab dimulai dari pendidikan formalnya yang kokoh di Mesir, pusat studi Islam tertua, Al-Azhar, yang memberinya bekal tradisi keilmuan yang kuat sekaligus keterbukaan terhadap ilmu pengetahuan modern. Namun, sumbangsih terbesarnya terletak pada upayanya untuk menemukan makna universal Al-Qur'an yang relevan bagi masyarakat yang plural, maju, dan dinamis. Ini adalah misi utama yang terlihat jelas dalam karya agungnya, Tafsir Al-Misbah, yang bukan hanya sekadar terjemahan, tetapi sebuah persembahan interpretatif yang menjunjung tinggi toleransi dan kontekstualisasi.
Lahir di Sulawesi Selatan, Abi Shihab tumbuh dalam lingkungan keluarga yang kental dengan tradisi keilmuan agama. Ayahnya sendiri adalah seorang ulama terkemuka. Pondasi awal ini kemudian diperkuat melalui perjalanan pendidikannya yang membawanya langsung ke jantung tradisi Islam Sunni, Universitas Al-Azhar, Kairo. Studi di Al-Azhar, yang meliputi jenjang sarjana, magister, hingga doktoral, memberinya landasan yang kuat dalam disiplin ilmu-ilmu keislaman, khususnya tafsir dan hadis.
Pengaruh Al-Azhar sangat esensial dalam membentuk metodologi Abi Shihab. Sekolah pemikiran Azhari dikenal karena coraknya yang moderat (tidak ekstrem kanan maupun kiri), menekankan rasionalitas dalam batas-batas syariat, dan menghargai keberagaman pendapat dalam fikih. Ia tidak hanya belajar isi dari kitab-kitab klasik, tetapi juga menguasai cara berpikir para ulama terdahulu, yang memungkinkannya untuk melakukan sintesis antara turath (warisan keilmuan) dan hadathah (modernitas).
Di Mesir, ia juga berinteraksi dengan dinamika pemikiran Arab kontemporer, menyerap wacana tentang tantangan modernitas, kolonialisme, dan kebutuhan umat Islam untuk bangkit melalui penguasaan ilmu pengetahuan. Pengalaman ini membentuk kesadaran bahwa tafsir di era modern tidak bisa hanya berputar pada isu-isu ritualistik belaka, tetapi harus menawarkan solusi etis dan sosial bagi permasalahan kemanusiaan universal, seperti keadilan, kesetaraan, dan kemakmuran bersama. Inilah yang menjadi dasar bagi pendekatan tafsir bi al-ra'yi al-mahmud (tafsir dengan nalar yang terpuji) yang ia gunakan secara konsisten.
Sekembalinya ke Indonesia, karier akademis dan pengabdian Abi Shihab semakin mengukuhkan posisinya sebagai otoritas intelektual. Ia aktif sebagai pengajar di berbagai perguruan tinggi, termasuk UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Peranannya tidak berhenti di ruang kuliah; ia juga menjabat di berbagai posisi strategis, termasuk Rektor IAIN (kini UIN) Jakarta dan Menteri Agama. Periode ini adalah masa di mana ia secara aktif mulai mengembangkan kerangka tafsirnya sendiri, yang menekankan pada konteks keindonesiaan dan kebhinekaan.
Keputusan beliau untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dan birokrasi keagamaan menunjukkan komitmennya bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh terisolasi. Ulama, menurut pandangannya, memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan kontribusi nyata dalam kebijakan publik, memastikan bahwa implementasi ajaran agama selaras dengan prinsip-prinsip kemaslahatan umum. Pengalaman ini memberinya perspektif unik tentang bagaimana ajaran Islam harus diterjemahkan ke dalam kebijakan negara, terutama yang berkaitan dengan kerukunan antarumat beragama dan pendidikan Islam yang inklusif.
Puncak dari pengabdian akademisnya adalah ketika ia memimpin Pusat Studi Al-Qur'an (PSQ), sebuah lembaga yang didedikasikan untuk penelitian, penerjemahan, dan penyebaran ilmu-ilmu Al-Qur'an dengan pendekatan yang modern dan toleran. PSQ menjadi wadah bagi pemikiran-pemikirannya, dan melalui lembaga inilah ia berhasil mencetak generasi baru cendekiawan Muslim yang mampu berpikir kritis dan kontekstual.
Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an adalah mahakarya Abi Shihab yang terdiri dari lima belas jilid tebal, menjadikannya salah satu karya tafsir terlengkap dan paling berpengaruh di Indonesia dalam dua dekade terakhir. Keberhasilan Al-Misbah bukan hanya pada kelengkapannya, tetapi pada metodologi inovatif yang ditawarkannya, yang secara signifikan berbeda dari gaya tafsir klasik.
Al-Misbah mengadopsi metode tahlili (analitis) namun diperkaya dengan pendekatan maudhu'i (tematik) secara terintegrasi. Karakteristik utama yang membedakannya adalah penekanan pada konsep keserasian atau munasabah. Abi Shihab sangat cermat dalam menunjukkan hubungan yang harmonis (keserasian) antara ayat per ayat, surah per surah, bahkan antara Al-Qur'an dengan alam semesta dan ilmu pengetahuan modern. Ia berpandangan bahwa Al-Qur'an adalah satu kesatuan organik, bukan sekumpulan aturan yang terpisah-pisah.
Metode interpretasi Abi Shihab sangat menekankan pada aspek pesan dan kesan. Pesan merujuk pada makna literal dan historis (asbabun nuzul), sementara kesan merujuk pada dampak spiritual, moral, dan kontekstual yang seharusnya ditimbulkan oleh ayat tersebut pada pembaca kontemporer. Dengan memprioritaskan "kesan", ia mendorong pembaca untuk tidak hanya memahami apa yang dikatakan Al-Qur'an di masa lalu, tetapi juga bagaimana pesan tersebut harus dihayati dan diterapkan di masa kini.
Sebagai seorang ahli bahasa Arab, Abi Shihab selalu memulai tafsirnya dengan analisis etimologis yang cermat terhadap setiap kata kunci (lafazh). Ia menunjukkan berbagai kemungkinan makna dari satu akar kata, lalu memilih makna yang paling sesuai dengan konteks surah dan tujuan makro Al-Qur'an (maqasid al-syari'ah). Misalnya, ketika menafsirkan kata 'jihad', ia akan menjelaskan bahwa akar kata tersebut mencakup usaha keras dalam segala bidang, bukan hanya konotasi sempit yang sering dikaitkan dengan peperangan.
Meskipun menggunakan rasionalitas (ra'yi), Abi Shihab menolak keras tafsir bi al-ra'yi al-madzmun (tafsir dengan nalar yang tercela), yaitu interpretasi yang didasarkan pada hawa nafsu atau kepentingan kelompok tertentu. Ia selalu memastikan bahwa interpretasinya didukung oleh riwayat (hadis sahih), pandangan ulama klasik, dan kaidah kebahasaan yang mapan, namun tetap memberikan ruang bagi nalar sehat untuk menyelaraskan ajaran agama dengan etika universal.
Jika diperhatikan, Al-Misbah secara konsisten mengangkat tema-tema yang sangat relevan bagi masyarakat modern, jauh melampaui fokus tradisional pada fikih ritual semata. Tiga tema utama yang menonjol adalah:
Abi Shihab menafsirkan banyak ayat yang berkaitan dengan penciptaan dan tugas manusia (khalifah) dengan menekankan martabat yang tinggi yang diberikan Allah kepada setiap individu, tanpa memandang ras, jenis kelamin, atau agama. Ia menafsirkan bahwa tujuan utama syariat adalah untuk memelihara lima hal pokok (agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta), yang secara esensial adalah hak asasi manusia.
Berbeda dengan sebagian ulama yang melihat ilmu agama dan ilmu dunia sebagai dua entitas yang terpisah, Abi Shihab selalu menekankan kesatuan ilmu. Ayat-ayat tentang alam (ayat kawniyyah) ditafsirkan sebagai dorongan eksplisit bagi umat Islam untuk menguasai sains dan teknologi. Ia tidak pernah memaksakan ayat Al-Qur'an harus 'cocok' dengan teori ilmiah terbaru (tafsir ilmi secara berlebihan), melainkan menunjukkan bahwa Al-Qur'an menyediakan kerangka berpikir yang mendukung penemuan ilmiah.
Isu keadilan sosial menjadi inti dari tafsirnya terhadap Surah Al-Ma'un, Surah Al-Lail, dan berbagai ayat tentang kemiskinan dan penindasan. Ia mengaitkan ibadah ritual dengan implikasi sosial; ibadah yang sah harus menghasilkan perilaku yang adil dan peduli terhadap sesama. Konsep zakat dan infak ditafsirkan bukan hanya sebagai kewajiban individu, melainkan sebagai mekanisme struktural untuk memastikan distribusi kekayaan yang merata.
Al-Misbah tidak hanya diterima di kalangan akademisi, tetapi juga menjadi buku pegangan wajib di rumah tangga Muslim Indonesia. Salah satu alasannya adalah penggunaan bahasa Indonesia yang sangat puitis dan mengalir. Abi Shihab berhasil menerjemahkan keindahan retorika Al-Qur'an ke dalam bahasa Indonesia modern tanpa kehilangan otoritas keilmuan. Jargon "pesan, kesan, dan keserasian" menjadi populer, mencerminkan kebutuhan umat Islam Indonesia akan tafsir yang menenangkan, mencerahkan, dan mempersatukan.
Dampak paling signifikan dari Al-Misbah adalah demokratisasi ilmu tafsir. Sebelum munculnya karya ini, banyak tafsir yang ada cenderung bersifat sangat teknis, politis, atau terikat pada mazhab fikih tertentu. Al-Misbah hadir sebagai interpretasi yang lebih inklusif, mengundang pembaca dari berbagai latar belakang untuk berdialog langsung dengan teks suci. Ini memperkuat tradisi literasi keagamaan dan mempromosikan pemahaman Islam yang lebih toleran dan damai.
Selain itu, Abi Shihab juga merilis sejumlah karya turunan dari Al-Misbah, seperti Membumikan Al-Qur'an dan Lentera Hati, yang semakin memperjelas dan mempopulerkan konsep-konsep tafsirnya. Karya-karya populer ini menggunakan format esai ringan dan tematik, menjangkau audiens yang mungkin tidak akan membaca lima belas jilid tafsir utuh, tetapi tetap haus akan pencerahan Al-Qur'an dalam kehidupan sehari-hari.
Jika Tafsir Al-Misbah adalah tubuh karyanya, maka moderasi atau wasatiyyah adalah jiwanya. Konsep Islam moderat yang diusung Abi Shihab telah menjadi landasan filosofis bagi banyak organisasi Islam di Indonesia. Ia memandang bahwa wasatiyyah (pertengahan) adalah karakter inheren Islam, yang menolak ekstremitas dan menganut keseimbangan dalam segala aspek kehidupan.
Bagi Abi Shihab, moderasi bukan berarti 'setengah-setengah' dalam beragama, melainkan kemampuan untuk bersikap adil, seimbang, dan proporsional dalam menghadapi perbedaan. Dalam konteks Indonesia, wasatiyyah diterjemahkan ke dalam tiga dimensi utama:
Ia mengajarkan bahwa Al-Qur'an adalah teks yang universal, namun penerapannya (tanzil) harus kontekstual. Ini memerlukan pembedaan tegas antara yang qat'i (pasti, tidak berubah) dan yang zanni (spekulatif, terbuka untuk interpretasi). Sebagian besar ajaran Islam, terutama dalam fikih muamalah dan sosial, berada dalam wilayah zanni, yang menuntut ulama untuk menggunakan nalar dan mempertimbangkan kondisi lokal, budaya, dan perkembangan zaman.
Sebagai contoh, dalam isu pakaian Muslimah, ia menafsirkan bahwa esensi perintah Al-Qur'an adalah menutup aurat dan menjaga kesantunan (iffah). Bentuk spesifik dari pakaian penutup tersebut dapat beradaptasi dengan budaya dan lingkungan, selama esensi kesantunan tetap terpenuhi. Fleksibilitas ini adalah kunci moderasi; ia mengakui keberagaman interpretasi tanpa mengorbankan prinsip dasar agama.
Abi Shihab adalah advokat gigih untuk toleransi. Ia menafsirkan ayat-ayat tentang ukhuwah (persaudaraan) meluas menjadi tiga jenis: ukhuwah islamiyah (persaudaraan sesama Muslim), ukhuwah wathaniyyah (persaudaraan sesama bangsa), dan ukhuwah insaniyyah (persaudaraan sesama manusia). Ketiganya harus dipelihara. Ia sering merujuk pada prinsip lakum dinukum wa liya din (bagimu agamamu, bagiku agamaku), menekankan bahwa perbedaan keyakinan adalah realitas ilahi yang harus dihormati, bukan dihilangkan.
Pemikirannya mendorong interaksi yang konstruktif dengan umat non-Muslim, terutama dalam urusan sosial dan kemanusiaan. Ia berpendapat bahwa kebaikan (birr) harus diberikan kepada siapapun yang tidak memusuhi Islam, sesuai dengan petunjuk Al-Qur'an. Ini memberikan fondasi teologis yang kuat bagi pluralisme yang damai di Indonesia.
Salah satu ciri khas pemikiran ekstremis adalah pendekatan tekstualis yang kaku, yang mengabaikan konteks historis dan filosofis. Abi Shihab secara konsisten melawan kecenderungan ini. Ia menjelaskan bahwa banyak hukum fikih yang diturunkan di masa lalu didasarkan pada kondisi sosial masyarakat Arab tertentu. Mengadopsi hukum tersebut secara mentah-mentah tanpa filter kontekstual adalah kesalahan metodologis yang dapat menghasilkan ketidakadilan dan kekerasan.
Ia mendorong pembaca untuk mencari maqasid (tujuan utama) di balik teks. Jika tujuan utama syariat adalah keadilan, maka setiap interpretasi yang menghasilkan ketidakadilan, meskipun berakar pada teks, harus ditinjau ulang. Pendekatan teleologis ini menjadikan Islam relevan dan etis di setiap zaman.
Moderasi Abi Shihab terlihat jelas ketika ia membahas isu-isu yang sering memicu kontroversi:
Abi Shihab adalah salah satu ulama yang paling vokal dalam membela hak-hak dan martabat wanita. Ia menafsirkan ayat-ayat tentang kepemimpinan (qawwamah) tidak sebagai dominasi mutlak laki-laki, melainkan sebagai tanggung jawab kepemimpinan rumah tangga yang bersifat fungsional dan dapat berganti peran tergantung konteks. Ia menafsirkan kata 'derajat' yang dilebihkan bagi laki-laki bukan dalam arti kualitas spiritual, melainkan dalam konteks tanggung jawab nafkah dan perlindungan yang dituntut oleh masyarakat patriarki saat itu.
Ia secara tegas mendukung pendidikan tinggi bagi wanita dan peran publik mereka, asalkan tetap menjaga batas-batas etika. Pendekatan ini menantang interpretasi patriarkal yang kaku yang telah mendominasi fikih selama berabad-abad, dan menjadikannya figur penting bagi gerakan Muslimah progresif.
Dalam banyak ceramahnya, Abi Shihab selalu menekankan sifat Rahmat (kasih sayang) Allah yang melampaui murka-Nya. Ia menafsirkan konsep surga dan neraka dengan penekanan pada motivasi moral, bukan sekadar ketakutan. Pendekatannya yang humanis dan penuh empati ini bertujuan untuk menanamkan harapan dan optimisme, menjauhkan umat dari keputusasaan atau pemahaman agama yang serba menghakimi dan menakutkan.
Pola pikir ini sangat kontras dengan narasi keagamaan yang didominasi oleh ancaman dan labelisasi 'bid'ah' atau 'kafir', yang sering menjadi bahan bakar polarisasi. Abi Shihab berupaya mengembalikan citra Islam sebagai agama yang membawa kedamaian (salam) dan kemudahan (yusr).
Kehadiran Abi Shihab di ranah publik tidak hanya melalui buku-buku tebal, tetapi juga melalui media massa, terutama televisi dan media digital. Gaya komunikasinya yang khas—tenang, santun, dan selalu didasari referensi keilmuan yang kuat—menjadikannya figur yang sangat dipercaya di tengah hiruk pikuk perdebatan agama.
Salah satu kontribusi pentingnya adalah demonstrasi adab al-khilaf (etika perbedaan pendapat). Dalam menyampaikan pandangan yang berbeda dari arus utama, ia jarang menggunakan bahasa yang provokatif atau menghakimi. Ia selalu menyajikan berbagai pandangan ulama terdahulu sebelum menawarkan interpretasinya sendiri, menempatkan argumennya dalam tradisi keilmuan yang panjang. Kesantunan ini mengajarkan kepada audiens bahwa seseorang bisa bersikap kritis dan cerdas tanpa harus menjadi kasar atau dogmatis.
Gaya ini sangat berpengaruh di Indonesia, di mana tensi keagamaan seringkali tinggi. Dengan menunjukkan bahwa ulama sekaliber dirinya mampu mengakui adanya perbedaan interpretasi yang sah, ia secara tidak langsung meredam fanatisme. Ia mengajarkan bahwa fokus harusnya pada nilai-nilai substansial, bukan pada pertengkaran superfisial tentang ritual minor.
Frasa "Membumikan Al-Qur'an" adalah inti dari proyek dakwahnya. Ini bukan berarti menurunkan derajat teks suci, melainkan mengangkat derajat manusia agar mampu memahami dan menghayati nilai-nilai luhurnya dalam konteks kehidupan nyata. Melalui program televisi yang populer, ia menerjemahkan ayat-ayat Al-Qur'an ke dalam bahasa emosi, psikologi, dan etika sehari-hari, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari problem rumah tangga, pekerjaan, dan moralitas publik.
Keterjangkauan ini memastikan bahwa ilmunya tidak hanya dinikmati oleh kalangan elit terpelajar di kampus-kampus, tetapi juga oleh ibu rumah tangga, profesional, dan pemuda. Ia menggunakan analogi yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, menjadikan konsep teologi yang kompleks terasa akrab dan relevan, sebuah kemampuan retoris yang jarang dimiliki oleh ulama tradisional.
Warisan Abi Shihab melampaui volume buku yang telah ia tulis; ia terletak pada pembentukan paradigma baru dalam studi Islam di Indonesia—sebuah paradigma yang menggabungkan kedalaman tradisi Azhari dengan semangat kontekstualisasi Indonesia yang terbuka dan pluralistik.
Sebagai pendiri dan penggerak Pusat Studi Al-Qur'an (PSQ), Abi Shihab telah menciptakan mesin pencetak intelektual yang membawa pemikirannya ke seluruh Indonesia. Mahasiswa dan peneliti yang berafiliasi dengan PSQ didorong untuk tidak hanya menghafal teks, tetapi juga untuk kritis terhadap metodologi dan berani menawarkan interpretasi baru yang relevan dengan tantangan sosial dan teknologi modern. Ia mengajarkan pentingnya ilmu-ilmu bantu (seperti sosiologi, psikologi, dan ilmu alam) dalam memahami Al-Qur'an secara utuh.
Pengaruhnya terasa kuat dalam diskursus akademik di UIN/IAIN seluruh Indonesia, di mana pendekatan tafsir kontekstual dan moderat kini menjadi arus utama. Generasi muda ulama yang terinspirasi olehnya cenderung lebih inklusif, lebih peka terhadap isu kemanusiaan, dan lebih siap untuk berdialog dengan dunia modern dibandingkan dengan generasi ulama yang lebih tekstualis.
Abi Shihab berperan sentral dalam mendefinisikan identitas Islam Indonesia, yang dikenal sebagai Islam Nusantara, dengan landasan teologis yang kokoh. Ia berpendapat bahwa Islam yang ideal adalah Islam yang dapat berasimilasi dengan budaya lokal yang positif, menghasilkan sintesis unik yang santun, damai, dan menjunjung tinggi tradisi kebangsaan.
Dalam pandangannya, menjadi Muslim yang baik adalah juga menjadi warga negara yang baik. Ia menolak narasi yang berusaha mempertentangkan identitas agama dan identitas nasional, menegaskan bahwa Pancasila dan prinsip-prinsip negara kesatuan adalah kontrak sosial yang sejalan dengan ajaran Islam tentang keadilan dan persatuan. Penguatan identitas ini menjadi benteng penting melawan ideologi transnasional yang ekstrem dan ingin menafikan peran budaya dan negara.
Meskipun warisan Abi Shihab sangat besar, tantangan untuk melanjutkan interpretasi moderat tetap ada. Perkembangan teknologi dan media sosial telah mempermudah penyebaran pemahaman agama yang sempit dan radikal. Oleh karena itu, tugas para penerusnya adalah memastikan bahwa metode kontekstualisasi dan moderasi yang diajarkan Abi Shihab tidak hanya bertahan di ranah akademik, tetapi juga terus relevan dan diakses oleh masyarakat umum dalam format yang menarik.
Penting untuk dicatat bahwa Abi Shihab mewariskan bukan hanya jawaban, tetapi juga metode berpikir. Warisannya adalah ajakan abadi untuk terus membaca Al-Qur'an dengan mata hati yang terbuka, nalar yang sehat, dan komitmen untuk menjadikan agama sebagai sumber kasih sayang bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin).
Untuk benar-benar memahami kebesaran Abi Shihab, diperlukan pendalaman lebih lanjut mengenai arsitektur dan filosofi yang mendasari setiap jilid Tafsir Al-Misbah. Karya ini merupakan hasil refleksi puluhan tahun, menggabungkan metode tafsir bi al-ma’thur (berdasarkan riwayat) dan tafsir bi al-ra’yi (berdasarkan nalar), namun dengan fokus utama pada keselarasan kosmik dan etika universal.
Abi Shihab menunjukkan kepiawaiannya dalam menavigasi lautan rujukan tafsir. Ia tidak hanya mengandalkan satu mazhab. Ia secara rutin merujuk pada:
Konsep keserasian (munasabah) dalam Al-Misbah bukan sekadar menghubungkan satu ayat ke ayat berikutnya; ini adalah tesis filosofisnya. Ia berpendapat bahwa Al-Qur'an, sebagai firman Tuhan, harus mencerminkan keserasian dan keteraturan yang ada di alam semesta (sunnatullah).
Dedikasi Abi Shihab terhadap konsep munasabah inilah yang membuat Al-Misbah terasa lebih koheren dan utuh dibandingkan banyak tafsir lain, yang terkadang terasa seperti kompilasi fragmentasi interpretasi.
Abi Shihab memberikan perhatian khusus pada terminologi Islam yang sering disalahpahami atau dimanfaatkan oleh kelompok ekstremis. Berikut adalah beberapa contoh pendalaman terminologinya yang revolusioner:
Ia menjelaskan bahwa kata kafir (dari akar kata kafara) pada dasarnya berarti 'menutup' atau 'mengingkari kebenaran'. Ia membedakan antara kafir harbi (yang memerangi umat Islam) dan kafir dzimmi/mu’ahid (yang hidup damai dan memiliki perjanjian). Menurutnya, label kafir tidak serta merta menghapus hak-hak kemanusiaan atau menghalangi interaksi sosial yang baik. Pendekatan ini menantang generalisasi mudah yang sering digunakan untuk memecah belah masyarakat.
Abi Shihab konsisten menegaskan bahwa jihad yang terluas adalah jihad an-nafs (perjuangan melawan hawa nafsu) dan jihad fi sabilillah yang melibatkan perjuangan intelektual, ekonomi, dan sosial untuk menegakkan keadilan. Perang (qital) hanyalah salah satu bentuk jihad, dan itu pun hanya diizinkan dalam kondisi defensif yang sangat ketat, dan harus mematuhi etika perang yang sangat tinggi yang diajarkan oleh Rasulullah.
Ia mengakui adanya perbedaan pandangan ulama mengenai batasan aurat wanita. Meskipun ia cenderung pada pandangan yang menganjurkan penutupan seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, ia selalu menekankan bahwa penutupan fisik hanyalah manifestasi luar dari hijab spiritual dan moral, yaitu kesantunan (haya’) dan menjaga kehormatan diri. Menurutnya, wanita yang mengenakan jilbab tetapi perilakunya buruk, secara substansi tidak memenuhi esensi hijab yang diperintahkan.
Di era globalisasi, komunitas Muslim Indonesia dihadapkan pada arus pemikiran Islam dari Timur Tengah yang cenderung monolitik. Tafsir Al-Misbah berfungsi sebagai penyeimbang yang kuat, menyuguhkan interpretasi yang otentik namun terbuka. Abi Shihab mengajarkan bahwa Muslim Indonesia dapat tetap menjadi Muslim yang taat tanpa harus menghilangkan identitas budayanya atau mengadopsi secara buta model keagamaan dari kawasan lain. Keberhasilannya menjembatani kearifan lokal (Indonesia) dengan universalitas teks suci adalah pencapaian intelektual yang paling monumental.
Ia menekankan bahwa Islam datang bukan untuk menghapus budaya, melainkan untuk memperbaiki dan memperkaya etika budaya tersebut. Prinsip ini, yang sering disebutnya sebagai "membumikan Al-Qur'an," adalah fondasi teologis bagi inklusivitas dan penerimaan terhadap keragaman internal umat Islam itu sendiri.
Selain kedalaman ilmunya, karakteristik yang paling dikenang dari Abi Shihab adalah akhlaknya. Etika keilmuan yang ia tunjukkan menjadi model bagi banyak cendekiawan muda tentang bagaimana seorang ulama harus berperilaku di tengah masyarakat yang terpolarisasi.
Meskipun menguasai berbagai disiplin ilmu, Abi Shihab terkenal karena kerendahan hatinya. Ia sering menegaskan bahwa tafsir adalah upaya manusiawi, dan tidak ada satu pun tafsir yang dapat mengklaim representasi mutlak dari kehendak Tuhan. Ia mengajarkan bahwa dalam urusan agama, kehati-hatian (ihtiyat) dan pengakuan atas keterbatasan nalar manusia adalah sifat yang wajib dimiliki oleh seorang mufassir. Sikap ini memberikan nuansa kerendahan hati dalam otoritas keilmuannya, yang sangat berbeda dari gaya ulama yang dogmatis.
Dalam debat publik, Abi Shihab selalu berhati-hati dalam menggunakan terminologi yang menghakimi, seperti 'bid’ah' atau 'sesat', terutama terhadap sesama Muslim. Ia berpendapat bahwa fokus ulama harusnya pada penyebaran pesan kebaikan, bukan pada fungsi pengadilan. Menghindari labelisasi ini adalah strategi dakwah yang efektif, karena ia membuka pintu dialog, alih-alih menutupnya dengan vonis keagamaan yang kaku.
Pendekatan non-judgmental ini memungkinkan dialog yang lebih konstruktif antara kelompok-kelompok Muslim yang berbeda (tradisionalis, modernis, salafi), yang pada akhirnya berkontribusi pada stabilitas sosial dan keagamaan di Indonesia.
Peran Abi Shihab dalam masyarakat lebih condong sebagai pendidik (murabbi) dan penenang hati, daripada sebagai politikus agama. Ia menggunakan ilmunya untuk memberikan kedamaian psikologis dan solusi moral bagi masalah yang dihadapi masyarakat, bukan untuk memobilisasi massa demi kepentingan politik. Fokus pada 'Lentera Hati' (judul salah satu bukunya) menunjukkan orientasi spiritual dan etis dari seluruh proyek keilmuannya.
Di tengah kegaduhan politik keagamaan yang sering melanda Indonesia, suara Abi Shihab selalu hadir sebagai oase yang mendinginkan dan mencerahkan, mengingatkan semua pihak tentang substansi ajaran Islam: Rahmat, Keadilan, dan Kasih Sayang.
Muhammad Quraish Shihab, atau Abi Shihab, telah menorehkan namanya sebagai salah satu ulama paling penting dalam sejarah Islam kontemporer Indonesia. Melalui Tafsir Al-Misbah, ia berhasil merumuskan interpretasi Al-Qur'an yang kuat secara akademis, namun lentur secara sosial, dan relevan secara kontekstual. Ia telah membuktikan bahwa tradisi keilmuan Islam yang mendalam dapat beriringan dengan komitmen pada modernitas, pluralisme, dan hak asasi manusia.
Warisan utamanya adalah metodologi moderasi (wasatiyyah) yang ia tanamkan, yang memungkinkan umat Islam Indonesia untuk tetap berpegang teguh pada keyakinan mereka sambil menjadi warga dunia yang toleran dan konstruktif. Ia tidak hanya menerjemahkan teks, tetapi juga menerjemahkan kearifan teks ke dalam bahasa kehidupan. Kontribusi ini memastikan bahwa ilmunya akan terus menjadi lentera yang membimbing generasi Muslim Indonesia di masa mendatang, memastikan bahwa Islam tetap menjadi sumber solusi, bukan sumber konflik, di Nusantara.
***