Dalam lanskap pemikiran dan kebudayaan Nusantara, nama Abi Rama sering kali disebut dengan penghormatan yang mendalam. Ia bukan sekadar seorang cendekiawan, melainkan arsitek intelektual yang berhasil menjembatani jurang antara kearifan masa lalu yang kaya dengan tuntutan modernitas yang serba cepat. Warisannya terukir tidak hanya dalam teks-teks filosofis, tetapi juga dalam revitalisasi seni, etika sosial, dan cara pandang kolektif masyarakat terhadap identitas mereka sendiri.
Jejak pemikiran Abi Rama menawarkan cetak biru yang komprehensif mengenai bagaimana sebuah peradaban dapat memelihara akar spiritualnya sambil merangkul kemajuan global. Artikel ini menelusuri secara ekstensif fondasi pemikirannya, kontribusinya yang monumental dalam berbagai bidang, dan pengaruh abadi yang terus membentuk diskursus kebangsaan dan kemanusiaan universal.
Ilustrasi visual keseimbangan dan pusat kearifan yang menjadi inti dari filsafat Abi Rama.
Memahami Abi Rama (sering disebut juga Rama Sang Pencerah) memerlukan pemetaan terhadap konteks geografis dan kultural tempat ia dibesarkan. Lahir di jantung tradisi, di tengah pusaran kearifan lokal yang kaya, masa kecilnya dipenuhi dengan pelajaran informal dari para sesepuh, yang menanamkan padanya rasa hormat yang mendalam terhadap Sangkan Paraning Dumadi—asal dan tujuan segala sesuatu.
Lingkungan yang kental dengan sinkretisme budaya, di mana unsur-unsur spiritualitas kuno, Hindu-Buddha, dan Islam berinteraksi secara harmonis, menjadi laboratorium awal pemikirannya. Ia melihat bahwa konflik seringkali muncul bukan dari perbedaan esensi, melainkan dari kegagalan manusia memahami keterkaitan fundamental antar-prinsip kehidupan. Pengamatan inilah yang kelak menjadi fondasi bagi doktrinnya tentang ‘Harmoni Multidimensional’.
Tidak seperti kebanyakan intelektual kontemporer yang memulai dari bangku akademik Barat, Abi Rama memulai perjalanannya dari sumber-sumber yang jauh lebih primal. Ia menghabiskan tahun-tahun formatifnya di pegunungan dan pesisir, mengamati ritme alam, pasang surut kehidupan, dan siklus agraris. Dalam pandangannya, alam adalah guru terbaik, manifestasi fisik dari hukum universal yang ia sebut Hukum Adat Semesta.
Abi Rama sangat menjunjung tinggi tradisi lisan. Ia berpendapat bahwa pengetahuan yang diturunkan secara lisan, terutama yang terbungkus dalam tembang, macapat, dan hikayat, mengandung lapisan makna yang tidak dapat sepenuhnya ditangkap oleh bahasa formal atau tulisan. Ia menghabiskan waktu bertahun-tahun mendokumentasikan dan menganalisis struktur naratif kuno, mencari benang merah etika yang menghubungkan masa Majapahit, Sriwijaya, hingga masa modern.
Awal studinya terfokus pada perbandingan kosmologi Jawa kuno (seperti konsep Jagad Cilik dan Jagad Gedhe) dengan teori-teori fisika modern yang saat itu mulai populer di kalangan akademisi. Ia berargumen bahwa ilmu pengetahuan Timur memiliki cara unik dalam mendefinisikan realitas yang seringkali diabaikan oleh paradigma materialistik Barat. Ini adalah langkah awal yang menandai pendekatannya yang unik: meramu tradisi tanpa menolaknya, dan merangkul modernitas tanpa didominasi olehnya.
Pengalaman Abi Rama berinteraksi dengan masyarakat adat di pedalaman Nusantara memperkuat keyakinannya bahwa keberlanjutan hidup bukan terletak pada akumulasi kekayaan, melainkan pada pemeliharaan relasi—relasi dengan Tuhan, relasi dengan manusia lain, dan relasi dengan lingkungan. Konsep Tri Hita Karana (meskipun berasal dari Bali) menjadi salah satu kerangka filosofis yang ia kembangkan lebih jauh, mengintegrasikannya ke dalam konteks etika sosial yang lebih luas di seluruh kepulauan.
Barulah pada usia dewasa, Abi Rama melakukan perjalanan studinya ke luar negeri. Di sana, ia tidak belajar untuk mengadopsi, melainkan untuk membandingkan. Ia mempelajari Kant, Hegel, Nietzsche, serta pemikir-pemikir Timur Tengah dan India. Ia menyimpulkan bahwa meskipun narasi-narasi global menawarkan kerangka berpikir yang kuat, mereka sering kali kekurangan dimensi spiritual dan kolektivitas yang menjadi ciri khas Nusantara.
Periode ini adalah masa sintesis yang intens. Abi Rama tidak menjadi pengikut mazhab tertentu; ia menciptakan mazhabnya sendiri. Ia mengambil rasionalisme dari Barat, tetapi menambahkan dimensi intuitif dan mistis dari Timur. Hasilnya adalah Filsafat Keris, sebuah metafora yang ia gunakan untuk menjelaskan bahwa kebijaksanaan harus memiliki dua sisi: ketajaman logika (mata pisau) dan pegangan yang kuat pada etika (gagang).
Dalam karya monumentalnya, Gelombang Kebijaksanaan di Atas Samudra, Abi Rama menguraikan bahwa setiap peradaban besar memiliki ‘titik nol’ spiritual yang harus terus dihidupkan. Bagi Nusantara, titik nol itu adalah keharmonisan primordial yang terwujud dalam keragaman—sebuah keragaman yang harus dihormati sebagai hukum alam, bukan sebagai sumber perpecahan politik.
Inti dari seluruh doktrin Abi Rama adalah Tri Dharma Nusantara. Ini adalah kerangka etika dan ontologis yang dirancang untuk memastikan bahwa masyarakat modern tidak kehilangan arah spiritual mereka di tengah derasnya arus globalisasi. Tri Dharma, atau Tiga Kewajiban Suci, berfungsi sebagai kompas moral bagi individu, komunitas, dan negara.
Dharma pertama berfokus pada introspeksi dan pembangunan karakter. Abi Rama menekankan bahwa perubahan sosial sejati hanya bisa dimulai dari kesucian batin individu. Ia mengkritik keras budaya konsumsi dan kesibukan yang membuat manusia modern tercerabut dari dirinya sendiri. Kewajiban ini menuntut setiap individu untuk menjadi ‘pulau’ yang stabil di tengah ‘badai’ eksistensi.
Konsep kunci dalam Jaga Diri adalah Prasetya Jiwa, atau Janji pada Diri Sendiri. Janji ini mencakup praktik disiplin mental, pengendalian hawa nafsu (bukan penolakan, melainkan pengarahan energi), dan pencarian pengetahuan yang tidak hanya bersifat faktual tetapi juga aplikatif dalam meningkatkan kualitas spiritual.
Abi Rama sering menggunakan analogi batik. Pola batik yang rumit dan indah hanya dapat tercipta jika proses pengerjaannya dilakukan dengan ketenangan dan ketelitian. Demikian pula, karakter manusia hanya dapat terbentuk melalui proses tempaan yang sadar dan konsisten. Kegagalan dalam Dharma Jaga Diri akan menghasilkan individu yang ‘rapuh’ secara moral, yang mudah terombang-ambing oleh kepentingan eksternal.
Dalam konteks modern, Jaga Diri juga diartikan sebagai literasi digital dan mental. Ia memprediksi tantangan informasi berlebihan dan menekankan pentingnya kemampuan memilah data, memfilter kebisingan, dan mempertahankan fokus spiritual di dunia yang dipenuhi gangguan layar.
Setelah mencapai stabilitas diri, Dharma kedua menuntut perluasan kesadaran dari individu ke komunitas. Jaga Sesama adalah kewajiban untuk memelihara tenun sosial, menciptakan keadilan, dan menjamin bahwa keberagaman dipandang sebagai aset integral, bukan beban politik. Ini adalah implementasi praktis dari filosofi Harmoni Multidimensional.
Inti dari Jaga Sesama adalah Konsep Gotong Royong Filosofis. Ini melampaui sekadar bantuan fisik; ini adalah gotong royong dalam pemikiran, di mana setiap individu merasa bertanggung jawab atas kejelasan moral dan keberlangsungan intelektual tetangganya, bahkan jika mereka berbeda latar belakang agama atau suku.
Abi Rama mengecam sistem ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir orang. Ia mengusulkan Ekonomi Rasa, sebuah model yang mengintegrasikan aspek spiritual dan emosional dalam transaksi ekonomi, memastikan bahwa keuntungan finansial tidak pernah mengorbankan kesejahteraan kolektif. Prinsipnya adalah bahwa kekayaan yang terakumulasi tanpa kontribusi nyata pada kebaikan bersama adalah beban, bukan berkat.
Baginya, pemimpin yang ideal adalah Satriya Pinandita—seorang ksatria yang juga seorang pendeta—yang kekuatannya terletak pada kebijaksanaan dan kerendahan hati, bukan pada dominasi. Dharma kedua ini adalah panggilan untuk redefinisi kepemimpinan, menuntut transparansi etika yang setinggi-tingginya dari semua pemegang otoritas.
Dharma terakhir, Jaga Bumi, adalah kewajiban terhadap lingkungan alam dan masa depan. Abi Rama menolak keras pemisahan dualistik antara manusia dan alam, yang ia yakini sebagai salah satu kesalahan mendasar yang diwarisi dari revolusi industri. Dalam pandangannya, Bumi adalah ‘Ibu Agung’ yang memberikan kehidupan, dan merusaknya sama dengan merusak diri sendiri.
Konsep yang paling mendalam di sini adalah Relasi Tiga Generasi. Kita hidup bukan hanya untuk diri sendiri atau generasi saat ini, tetapi juga untuk menghormati leluhur yang telah menjaga bumi, dan untuk memastikan ketersediaan sumber daya bagi keturunan yang belum lahir. Setiap keputusan pembangunan atau eksploitasi harus diukur dengan dampak jangka panjangnya, minimal tujuh turunan ke depan.
Abi Rama mendorong pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berakar pada kearifan lokal. Ia mencontohkan sistem irigasi Subak di Bali atau pola tanam terpadu di Jawa sebagai bukti bahwa manusia dapat berinteraksi dengan alam secara produktif tanpa merusaknya. Teknologi harus menjadi alat untuk memperkuat hubungan spiritual dengan bumi, bukan untuk mendominasi atau menghancurkannya.
Penerapan Jaga Bumi menuntut perubahan paradigma konsumsi. Ia menyerukan gaya hidup yang bersahaja, menolak kemewahan yang berlebihan, dan mempromosikan kerajinan lokal serta pangan organik sebagai bentuk penghormatan terhadap tanah. Dengan menjalankan Tri Dharma secara utuh—Jaga Diri, Jaga Sesama, dan Jaga Bumi—manusia akan mencapai status Manusia Seutuhnya (Insan Kamil Nusantara).
Visualisasi perpaduan harmonis antara tradisi (kotak besar) dan inovasi (lingkaran pusat) dalam budaya Nusantara.
Filosofi Abi Rama bukanlah teori yang beku di atas kertas; ia adalah cetak biru untuk tindakan nyata, terutama dalam bidang kebudayaan. Ia percaya bahwa budaya adalah ‘pembuluh darah’ suatu bangsa. Jika pembuluh darah tersumbat atau tercemar oleh imitasi asing yang tidak sesuai, maka bangsa tersebut akan sakit. Kontribusinya dalam seni dan kebudayaan terfokus pada revitalisasi melalui kontekstualisasi.
Abi Rama melihat Wayang Kulit bukan sekadar hiburan, tetapi sebagai ‘Universitas Bayangan’ yang mengajarkan etika, politik, dan spiritualitas kepada masyarakat luas. Ia mengkritik kecenderungan modern yang mereduksi wayang menjadi pajangan museum atau pertunjukan turis belaka.
Ia mempelopori Gerakan Wayang Kontemporer Berakar, di mana pakem-pakem dasar cerita dan karakter tetap dipertahankan, namun dialog dan setting disesuaikan untuk membahas isu-isu sosial dan politik modern—korupsi, kerusakan lingkungan, hingga dilema digital. Dengan demikian, filosofi kuno dapat berbicara langsung kepada generasi muda tanpa kehilangan kedalaman maknanya.
Demikian pula dengan Gamelan. Abi Rama menekankan bahwa gamelan adalah representasi sonik dari Harmoni Semesta. Setiap instrumen, meskipun berbeda timbre dan fungsi, harus bersatu untuk menciptakan suara kolektif. Ia mendorong komponis muda untuk bereksperimen dengan skala dan akord, menciptakan komposisi baru yang mencerminkan kekacauan dan harapan era modern, namun tetap mempertahankan resonansi spiritual alat musik perunggu tersebut.
Proyeknya yang paling terkenal adalah simfoni Gema Nusantara Abadi, sebuah karya masif yang menggabungkan instrumen gamelan Jawa, Bali, Sunda, hingga alat musik tradisional dari Kalimantan dan Sumatera, disatukan oleh konduktor. Karya ini menjadi simbol nyata bahwa keragaman dapat menciptakan keindahan yang melampaui bagian-bagian individualnya.
Dalam bidang arsitektur, Abi Rama memperkenalkan konsep Arsitektur Responsif Nusantara (ARN). Ia menentang tren pembangunan masif yang mengabaikan iklim tropis, material lokal, dan filosofi ruang. ARN bukan hanya tentang estetika tradisional, tetapi tentang keberlanjutan dan spiritualitas ruang tinggal.
Prinsip ARN antara lain:
Filosofi arsitekturnya ini memiliki dampak signifikan pada pembangunan perumahan berkelanjutan dan revitalisasi kota-kota tua. Ia membuktikan bahwa desain yang otentik dapat menjadi solusi praktis terhadap isu perubahan iklim dan krisis identitas perkotaan.
Kontribusi Abi Rama pada bidang kebudayaan menunjukkan pemahaman yang mendalam bahwa kebudayaan adalah proses adaptif, bukan fosil. Ia memungkinkan tradisi untuk bernapas dalam konteks baru, memastikan relevansinya terus berlanjut di hadapan tantangan zaman.
Dia berpendapat bahwa setiap bentuk seni adalah upaya manusia untuk menyentuh keabadian. Oleh karena itu, seniman memiliki tanggung jawab moral untuk menyampaikan kebenaran, bukan hanya keindahan yang dangkal. Kebenaran, dalam konteks Abi Rama, adalah refleksi dari Tri Dharma yang dilaksanakan secara sempurna.
Abi Rama menyadari bahwa warisan pemikiran yang mendalam tidak akan bertahan jika tidak diintegrasikan ke dalam sistem yang membentuk generasi masa depan. Ia mencurahkan banyak energinya untuk mereformasi pendidikan dan memengaruhi pembuatan kebijakan publik, memastikan bahwa negara berjalan di atas rel etika Nusantara.
Kritik utama Abi Rama terhadap sistem pendidikan formal adalah bahwa ia terlalu berorientasi pada hasil (nilai dan gelar) dan mengabaikan proses pembentukan karakter (budi pekerti). Ia menyerukan Kurikulum Budi Pekerti Integral.
Dalam kurikulum ini, mata pelajaran tidak diajarkan secara terpisah-pisah. Matematika harus dihubungkan dengan pola simetri pada batik atau candi. Sains harus diajarkan melalui konteks kearifan lokal dalam pengelolaan air atau obat-obatan tradisional. Sejarah bukan sekadar urutan tanggal, melainkan analisis etika keputusan para pemimpin masa lalu.
Ia mendirikan sejumlah Padepokan Intelektual—pusat pembelajaran non-formal yang berfungsi sebagai laboratorium pendidikan. Di padepokan ini, murid-murid tidak hanya menghafal, tetapi melakukan kontemplasi, bertani, memainkan gamelan, dan berdiskusi filosofi dengan para master. Tujuannya adalah menciptakan Manusia Seimbang yang memiliki kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual yang sepadan.
Dampak dari kurikulum ini adalah penekanan pada keterampilan lunak yang berakar pada budaya, seperti musyawarah untuk mufakat dalam menyelesaikan masalah, dan konsep tepo seliro (empati sosial) sebagai dasar interaksi kelas.
Pengaruh Abi Rama terhadap kebijakan publik terutama terlihat dalam gagasannya tentang Keadilan Struktural Berbasis Etika Nusantara. Ia mengajarkan bahwa hukum positif modern harus diselaraskan dengan hukum adat dan spiritualitas yang lebih tua, yang cenderung lebih mementingkan restorasi harmoni daripada penghukuman murni.
Ia seringkali menjadi penasihat diam-diam bagi para pemimpin, mengingatkan mereka tentang Tragedi Penguasa—kejatuhan kekuasaan yang disebabkan oleh jarak antara pemimpin dan rakyat, dan antara tindakan publik dan hati nurani pribadi. Ia menekankan bahwa jabatan adalah amanah, bukan hak istimewa, sebuah konsep yang ia ambil dari interpretasi ulang terhadap filosofi raja-raja bijak Nusantara.
Dalam debat mengenai pembangunan nasional, Abi Rama selalu menentang model pembangunan yang mengutamakan kecepatan pertumbuhan ekonomi di atas pemerataan dan keberlanjutan ekologis. Ia menyarankan indeks kemakmuran nasional harus mencakup Indeks Kebahagiaan Budaya dan Indeks Kesehatan Lingkungan, di samping angka Produk Domestik Bruto (PDB).
Pandangannya telah menginspirasi gerakan-gerakan akar rumput yang menuntut kedaulatan pangan dan kedaulatan budaya, memastikan bahwa kebijakan yang dibuat di pusat kekuasaan benar-benar merefleksikan kebutuhan dan kearifan masyarakat di pinggiran.
Visualisasi warisan (dasar) yang menjadi fondasi bagi pencerahan dan ilmu pengetahuan (cahaya).
Meskipun akarnya tertanam kuat di tanah Nusantara, pemikiran Abi Rama tidak terbatas oleh batas geografis. Filsafatnya tentang keseimbangan, etika multidimensional, dan keberlanjutan telah menarik perhatian akademisi, aktivis lingkungan, dan pemimpin spiritual di seluruh dunia. Relevansinya semakin meningkat seiring dengan krisis ekologi dan spiritual yang melanda peradaban modern.
Abi Rama dikenal sebagai tokoh yang mendorong Dialog Antarperadaban yang Setara. Ia menolak model dialog di mana Timur hanya menjadi subjek studi eksotis bagi Barat, dan menuntut agar kearifan Nusantara diperlakukan sebagai sistem pengetahuan yang valid, setara dengan filsafat Yunani atau kontemporer.
Kontribusinya diakui melalui sejumlah forum global tentang keberlanjutan dan etika. Konsep Tri Dharma Nusantara diadaptasi oleh beberapa lembaga internasional sebagai kerangka kerja untuk Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) yang melampaui kepatuhan hukum, menekankan pada kontribusi nyata terhadap lingkungan dan komunitas lokal.
Para pemikir Barat yang tertarik pada filsafat ekologi menemukan dalam karya Abi Rama sebuah alternatif terhadap dualisme yang dominan dalam pemikiran mereka. Mereka melihat bagaimana budaya yang berakar pada animisme dan spiritualitas pra-modern secara inheren menyediakan solusi untuk masalah yang disebabkan oleh materialisme industrial.
Jembatan yang dibangun oleh Abi Rama bukan hanya antara tradisi dan modernitas, tetapi juga antara Timur dan Barat, menunjukkan bahwa prinsip-prinsip etika universal seringkali ditemukan dalam narasi lokal yang paling spesifik. Ia membuktikan bahwa untuk menjadi global, seseorang harus terlebih dahulu memahami secara mendalam siapa dirinya di tingkat lokal.
Pasca-karya-karya utamanya, tantangan terbesar bagi warisan Abi Rama adalah penafsiran yang dangkal. Beberapa pihak mencoba mereduksi Tri Dharma menjadi slogan politik kosong, atau mengubah filsafatnya menjadi ritual tanpa makna substantif.
Untuk mengatasi ini, para pengikut dan murid-muridnya mendirikan Lembaga Kajian Abi Rama yang berfokus pada studi mendalam dan aplikasi praktis dari ajarannya. Mereka memastikan bahwa pemikiran Abi Rama tetap hidup dan relevan melalui publikasi berkala, lokakarya etika untuk profesional, dan program mentorship bagi seniman dan aktivis muda.
Pelestarian tidak berarti pembekuan. Murid-murid Abi Rama terus mengembangkan konsepnya dalam menghadapi tantangan baru, seperti etika kecerdasan buatan (AI) dan masa depan energi terbarukan. Mereka bertanya: Bagaimana Tri Dharma berlaku dalam ekosistem digital? Jawaban yang mereka temukan adalah bahwa Dharma Jaga Diri menuntut kejernihan digital; Dharma Jaga Sesama menuntut kesetaraan akses informasi; dan Dharma Jaga Bumi menuntut penggunaan teknologi yang rendah emisi.
Abi Rama adalah salah satu permata intelektual paling berharga yang pernah dimiliki Nusantara. Kehidupan dan karyanya adalah sebuah kesaksian bahwa kearifan lokal, jika ditelaah dan diterapkan dengan kedalaman filosofis, dapat memberikan jawaban terhadap krisis universal yang dihadapi umat manusia.
Filosofi Tri Dharma Nusantara yang ia gagas bukan hanya sekadar teori, tetapi panggilan untuk transformasi etika. Ia menuntut agar setiap individu menjadi agen perubahan, dimulai dari kedamaian internal hingga harmoni eksternal dengan sesama dan alam semesta.
Warisan Abi Rama adalah jembatan yang kokoh—jembatan yang memungkinkan generasi mendatang melangkah maju ke masa depan yang kompleks, sambil tetap merasakan kekuatan dan ketenangan dari akar tradisi mereka yang tak terputus. Cahaya yang ia nyalakan, berpusat pada keseimbangan dan keadilan, adalah peta jalan abadi bagi bangsa yang ingin menjadi modern tanpa harus kehilangan jiwanya.
Dalam setiap tarikan napas budaya, dalam setiap desain arsitektur yang bijaksana, dan dalam setiap upaya kolektif menuju keadilan sosial dan ekologi, pemikiran Abi Rama terus menggema, mengingatkan kita bahwa kemajuan sejati selalu beriringan dengan kearifan.
Selain Tri Dharma yang bersifat etis dan sosiologis, Abi Rama juga menyumbangkan pemikiran mendalam di bidang metafisika, yang ia yakini menjadi sumber energi spiritual bagi Tri Dharma. Baginya, metafisika bukanlah ilmu gaib, melainkan studi tentang struktur realitas yang melampaui indra fisik. Konsep utamanya adalah Jagat Tiga Lapis yang ia kaitkan dengan kesadaran manusia.
Lapis pertama adalah Jagat Raga (Dunia Fisik), tempat segala sesuatu dapat diukur dan diamati. Lapis kedua adalah Jagat Rasa (Dunia Emosi dan Intuisi), tempat di mana kreativitas, seni, dan empati bersemayam. Lapis ketiga, yang paling penting, adalah Jagat Sukma (Dunia Spiritualitas Murni), sumber dari segala nilai dan kebenaran abadi.
Abi Rama berpendapat bahwa masyarakat modern terjebak dalam obsesi terhadap Jagat Raga, mengabaikan kekayaan Jagat Rasa dan Jagat Sukma. Kekacauan sosial, menurutnya, adalah manifestasi dari ketidakseimbangan energi, di mana materialisme telah membungkam suara hati (Jagat Rasa) dan menghilangkan koneksi spiritual (Jagat Sukma).
Integrasi ketiga lapis ini dalam kehidupan sehari-hari adalah tujuan akhir dari pendidikan menurut Abi Rama. Seorang individu yang utuh harus mampu menavigasi realitas fisik dengan efisien, merasakan dunia emosi dengan sensitivitas tinggi, dan berlabuh pada nilai-nilai spiritual yang tak tergoyahkan.
Dalam filsafat Barat, waktu sering dipandang linear, bergerak dari masa lalu ke masa depan. Abi Rama menantang pandangan ini dengan konsep Cakra Manggala, atau Waktu Melingkar. Ia berpendapat bahwa masa lalu tidak hilang; ia terakumulasi sebagai energi dan kearifan yang selalu berputar dan kembali memengaruhi masa kini.
Konsep ini memiliki implikasi besar terhadap sejarah. Sejarah tidak dilihat sebagai serangkaian peristiwa yang terputus, melainkan sebagai sebuah siklus di mana kegagalan dan keberhasilan peradaban kuno akan selalu terulang jika pelajaran etika dasarnya diabaikan. Ini adalah alasan mengapa ia sangat menekankan pembelajaran dari hikayat dan epos kuno; karena pahlawan dan penjahat masa lalu adalah arketipe yang hidup dan relevan di setiap zaman.
Cakra Manggala mengajarkan kerendahan hati: kita adalah bagian kecil dari lingkaran besar. Generasi sekarang memiliki tanggung jawab untuk membersihkan dan memperkaya lingkaran ini sebelum menyerahkannya kepada generasi berikutnya, memastikan bahwa warisan yang berputar kembali bukanlah beban dosa, melainkan bekal kebijaksanaan.
Abi Rama bukanlah seorang anti-modernis, tetapi ia adalah kritikus tajam terhadap hegemoni budaya dan ekonomi yang dibawa oleh globalisasi tak terkendali. Ia melihat bahwa globalisasi memiliki potensi untuk menyebarkan penyakit spiritual yang sama cepatnya dengan penyebaran teknologi.
Kritik terpentingnya adalah bahaya monokultur pemikiran. Ketika hanya satu model ekonomi (kapitalisme konsumtif) dan satu model pemerintahan (demokrasi tanpa etika) yang diakui sebagai superior, maka keberagaman solusi manusia atas masalah eksistensial akan hilang. Ia menyebut fenomena ini sebagai Kematian Ribuan Bahasa Hati.
Solusi kontra-hegemoni yang ditawarkan Abi Rama adalah Ekonomi Swadaya Berbasis Komunitas (ESBK). Model ini menekankan sirkulasi kekayaan di tingkat lokal, bukan hanya akumulasi di tingkat pusat. ESBK mendorong bank komunitas, koperasi yang kuat, dan perdagangan barang berdasarkan nilai tukar yang adil, bukan hanya berdasarkan spekulasi pasar global. Tujuannya adalah membebaskan masyarakat lokal dari belenggu fluktuasi ekonomi yang tidak mereka kendalikan.
Abi Rama percaya bahwa kekuatan sejati suatu bangsa terletak pada ketahanan lokalnya. Semakin mandiri sebuah desa dalam pangan, energi, dan pendidikan karakternya, semakin kuat negara tersebut secara keseluruhan. Inilah implementasi dari Dharma Jaga Bumi dan Jaga Sesama secara simultan.
Untuk menanggapi dominasi budaya asing, Abi Rama mengusulkan Kedaulatan Budaya. Ini melampaui perlindungan kesenian tradisional; ini adalah hak setiap komunitas untuk mendefinisikan dirinya sendiri dan untuk mengintegrasikan nilai-nilai lokal mereka ke dalam sistem hukum, pendidikan, dan pemerintahan mereka.
Ia mencontohkan bagaimana sistem musyawarah adat dapat diadaptasi menjadi model pengambilan keputusan yang lebih inklusif dan partisipatif dalam pemerintahan daerah, menggantikan model voting mayoritas yang seringkali meninggalkan minoritas terpinggirkan. Kedaulatan Budaya adalah jaminan bahwa pluralisme Nusantara akan terus berkembang, bukan layu di bawah tekanan standarisasi global.
Pemikiran Abi Rama tetap resonan dalam isu-isu paling mendesak di abad ke-21. Dua bidang utama di mana ajarannya menawarkan solusi segar adalah krisis iklim dan kesehatan mental.
Dalam menghadapi krisis iklim, ajaran Jaga Bumi memberikan kerangka yang diperlukan. Ini bukan hanya tentang mengurangi emisi, tetapi tentang rehabilitasi hubungan spiritual dengan alam. Abi Rama mengajarkan bahwa setiap bencana ekologis (banjir, kekeringan) harus dipandang sebagai Teguran Semesta, sebuah tanda bahwa manusia telah melanggar janji etis mereka terhadap Ibu Agung (Bumi).
Solusinya adalah Ekonomi Restoratif: setiap kegiatan industri harus disertai dengan kewajiban untuk tidak hanya mengurangi kerusakan, tetapi secara aktif memulihkan ekosistem yang telah rusak. Misalnya, jika perusahaan mengambil sumber daya dari hutan, mereka wajib tidak hanya menanam pohon, tetapi juga memulihkan keanekaragaman hayati dan sistem air di area tersebut, memastikan keberlanjutan yang melampaui masa hidup perusahaan itu sendiri.
Di era digital, tingkat stres dan kecemasan global melonjak. Ajaran Jaga Diri oleh Abi Rama menyediakan antidote yang efektif. Fokus pada Prasetya Jiwa dan penguasaan Jagat Rasa (dunia emosi) mengajarkan individu untuk membangun benteng batin.
Ia menekankan praktik kontemplasi (semedi atau tapa brata) yang disesuaikan untuk kehidupan modern—bukan sebagai penarikan diri dari dunia, melainkan sebagai mekanisme harian untuk memproses pengalaman dan menegaskan kembali nilai-nilai spiritual. Dalam pandangannya, kesehatan mental bukanlah ketiadaan masalah, melainkan kemampuan untuk menanggapi masalah dengan ketenangan yang berakar pada kesadaran diri yang kuat.
Abi Rama mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati tidak ditemukan dalam pengejaran kenikmatan eksternal, melainkan dalam realisasi potensi batin dan kontribusi seseorang terhadap Dharma Jaga Sesama. Dengan mengalihkan fokus dari kebutuhan ego ke kewajiban kolektif, individu menemukan makna yang melampaui penderitaan pribadi.
Meskipun Abi Rama meninggalkan sejumlah karya tulisan yang sangat berpengaruh, ia sendiri sering mengatakan bahwa warisannya yang paling penting bukanlah buku, melainkan Cara Hidup yang ia tunjukkan dan inspirasi yang ia berikan kepada orang-orang untuk kembali ke inti spiritual mereka.
Ia adalah simbol bahwa kebijaksanaan dapat ditemukan di persimpangan jalan kuno dan jalan tol modern. Ia membuktikan bahwa bangsa yang bangga dengan warisannya tidak perlu takut akan masa depan. Sebaliknya, warisan adalah modal terkuat untuk menghadapi segala gejolak perubahan.
Pemikiran tentang Abi Rama harus terus menjadi studi yang dinamis dan berkembang. Tugas generasi penerus bukanlah untuk memuja, tetapi untuk mengimplementasikan. Setiap tindakan yang mencerminkan keseimbangan, setiap keputusan yang menjunjung tinggi etika di atas keuntungan, dan setiap karya seni yang menjembatani masa lalu dan masa kini, adalah penegasan abadi terhadap filosofi yang diwariskan oleh Abi Rama, Sang Jembatan Waktu Nusantara.
Warisan ini, diukur bukan dari volume teks yang ia hasilkan, melainkan dari kedalaman perubahan yang ia tanamkan dalam hati dan pikiran masyarakat, memastikan bahwa Nusantara akan terus menjadi sumber kearifan yang relevan bagi dunia yang haus akan keseimbangan dan makna.
Kehadiran intelektualnya, meskipun mungkin telah berlalu dalam dimensi fisik, tetap menjadi mercusuar moral. Ia menantang kita semua untuk mencari kebenaran di dalam diri, menerapkannya dalam komunitas kita, dan menjaganya dalam relasi kita dengan alam semesta. Ini adalah warisan Abi Rama, sebuah warisan yang tak lekang oleh waktu dan tak terbatasi oleh geografi.
Filosofi keris yang ia ajarkan tetap relevan, menuntut ketajaman analisis tanpa kehilangan kehangatan etika. Dalam pertempuran ideologi modern, konsep Tri Dharma menyediakan pelindung spiritual yang diperlukan untuk menjaga integritas individu dan bangsa. Kita terus melihat bagaimana pemikirannya diadaptasi dalam konteks perancangan kota berkelanjutan, program pendidikan karakter di pedesaan, hingga inisiatif dialog lintas agama di perkotaan.
Setiap kali terjadi ketegangan sosial, para murid Abi Rama akan merujuk kembali kepada Dharma Jaga Sesama, mengingatkan bahwa konflik harus diselesaikan melalui harmoni, bukan dominasi. Setiap kali terjadi perusakan lingkungan, mereka merujuk pada Dharma Jaga Bumi, mengingatkan bahwa alam adalah mitra, bukan komoditas. Dan dalam kegelisahan pribadi, Dharma Jaga Diri selalu menjadi panduan utama.
Oleh karena itu, studi tentang Abi Rama adalah studi yang tidak pernah selesai. Ia adalah cermin yang terus menunjukkan refleksi diri kita sebagai manusia Nusantara, menantang kita untuk hidup sesuai dengan potensi tertinggi kita—sebagai individu yang seimbang, sebagai anggota komunitas yang bertanggung jawab, dan sebagai penjaga setia bumi tempat kita berpijak.
Peninggalannya adalah sebuah ajakan untuk merayakan identitas yang unik, merangkul kompleksitas, dan menemukan kesederhanaan mendasar di balik keragaman, menjadikan nama Abi Rama identik dengan Kebijaksanaan Abadi Nusantara.