Di antara figur paling agung dan berpengaruh dalam sejarah peradaban Islam, Sayyidina Ali ibn Abi Thalib memegang tempat yang unik. Beliau adalah sepupu sekaligus menantu Rasulullah SAW, Khalifah keempat dalam tradisi Sunni, dan Imam pertama dalam tradisi Syiah. Kehidupannya yang dihabiskan dalam naungan kenabian, kepahlawanannya di medan perang, kedalaman kebijaksanaannya, serta kepemimpinannya yang penuh tantangan, menjadikannya subjek studi abadi mengenai integritas, keadilan, dan pengetahuan.
Kisah hidup Abi Bin Thalib bukan sekadar kronik sejarah; ia adalah sebuah narasi tentang transformasi masyarakat, keteguhan iman, dan kompleksitas kekuasaan pasca-kenabian. Untuk memahami warisannya, kita harus menelusuri setiap babak kehidupannya, dari masa kanak-kanak di Makkah hingga kepemimpinannya yang singkat namun monumental di Kufah.
Ali dilahirkan di Makkah, di dalam Ka'bah, menurut banyak riwayat, sekitar sepuluh tahun sebelum dimulainya wahyu. Ayahnya adalah Abu Thalib, paman Nabi Muhammad SAW yang mulia, pelindung Nabi yang gigih. Ibunya, Fatimah binti Asad, adalah wanita pertama dari Bani Hasyim yang memeluk Islam. Ali tumbuh dalam lingkungan yang terhormat namun ekonominya tidak selalu mapan, terutama setelah kemarau panjang melanda Makkah.
Karena kesulitan ekonomi yang dialami Abu Thalib, Rasulullah SAW mengambil Ali kecil untuk diasuh di rumah beliau. Langkah ini bukan hanya bantuan finansial, tetapi juga merupakan takdir yang menempatkan Ali di bawah pengawasan dan didikan langsung dari pribadi yang paling mulia, Nabi Muhammad SAW. Ali, sejak usia yang sangat dini, telah menjadi bagian integral dari rumah tangga kenabian. Hubungan ini membentuk karakternya, memberinya akses langsung kepada akhlak, ajaran, dan ketenangan batin Nabi.
Ketika wahyu pertama turun kepada Nabi Muhammad SAW, Ali baru berusia sekitar sepuluh tahun. Ia adalah anak laki-laki pertama yang memeluk Islam. Momen ini sering digambarkan sebagai titik balik spiritual dalam hidupnya. Ketika Nabi dan Khadijah shalat, Ali menyaksikan dan bertanya tentang praktik baru tersebut. Setelah dijelaskan, ia segera menerima risalah tersebut tanpa keraguan. Keislamannya pada usia muda menunjukkan kemurnian fitrahnya dan kemampuannya untuk melihat kebenaran meskipun seluruh masyarakat Makkah menentangnya.
Ketaatannya ini menempatkannya dalam posisi yang sangat istimewa, menjadi saksi mata awal perjuangan Islam di tengah tekanan Quraisy. Ia menyaksikan penderitaan para sahabat awal dan menghadapi ancaman bersama Nabi, namun tidak pernah gentar. Ali tidak hanya menjadi murid, tetapi juga perisai pertama bagi dakwah Islam.
Salah satu babak paling heroik dalam kehidupan Ali adalah Lailatul Mabit, Malam Hijrah. Ketika kaum Quraisy merencanakan untuk membunuh Nabi Muhammad SAW secara serentak, Nabi menerima perintah ilahi untuk berhijrah ke Madinah. Dalam situasi yang sangat berbahaya, diperlukan seseorang yang memiliki keberanian luar biasa untuk menggantikan posisi Nabi di tempat tidur, sehingga para pengepung mengira Nabi masih berada di dalam rumah.
Ali, tanpa ragu sedikit pun, bersedia mengambil risiko kematian tersebut. Ia berbaring di tempat tidur Nabi, ditutupi jubah hijau khas beliau. Pengorbanan ini memungkinkan Nabi untuk lolos dengan selamat bersama Abu Bakar. Ali dengan tenang menunggu hingga pagi, menghadapi para penyerang yang terkejut mendapati Ali, bukan Nabi, di tempat tidur. Setelah menghadapi mereka sejenak, Ali menjalankan tugas kedua: mengembalikan semua barang amanah (titipan) yang disimpan kaum Quraisy kepada Nabi.
Tindakan ini menunjukkan tingkat pengorbanan diri dan kepercayaan mutlak Ali kepada Nabi. Ia tidak hanya mempertaruhkan nyawanya, tetapi juga menjaga kehormatan dan amanah masyarakat, bahkan dari mereka yang ingin membunuhnya. Pengorbanan ini menjadi penanda awal bagi perannya sebagai pelindung utama Islam.
Setelah tiba di Madinah, kehidupan Ali semakin terikat erat dengan rumah tangga Nabi. Beliau dipersaudarakan (Muakha) oleh Nabi dengan Sahl ibn Hunaif, atau menurut riwayat lain, Nabi mempersaudarakan Ali dengan dirinya sendiri, menyatakan: "Engkau adalah saudaraku di dunia dan akhirat."
Momen penting lainnya adalah pernikahannya dengan Fatimah Az-Zahra, putri bungsu Nabi Muhammad SAW. Pernikahan ini, yang terjadi tak lama setelah hijrah, menyatukan garis keturunan kenabian. Dari pernikahan ini lahir dua cucu Nabi yang sangat dicintai, Hasan dan Husain, serta dua putri, Zainab dan Ummu Kultsum. Pernikahan ini bukan hanya ikatan personal, melainkan fondasi bagi Ahlul Bait, keluarga inti Nabi, yang memiliki peran sentral dalam sejarah dan spiritualitas Islam.
Kehidupan rumah tangga Ali dan Fatimah sering digambarkan sederhana, penuh pengorbanan, dan dihiasi dengan ketakwaan yang mendalam. Mereka menjalani hari-hari dengan bekerja keras, namun selalu mengutamakan ibadah dan ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
Periode Madinah didominasi oleh konflik militer dan perjuangan mempertahankan komunitas Muslim yang baru lahir. Di sinilah peran Ali sebagai ksatria Islam menonjol. Keberaniannya, kekuatannya fisik, dan keterampilannya dalam bertarung menjadi legenda. Nabi Muhammad SAW sering mempercayakan panji dan bendera perang kepada Ali, sebuah kehormatan yang menunjukkan kepercayaannya yang mutlak terhadap kemampuan militer Ali.
Dalam Perang Badar, pertempuran besar pertama antara Muslim dan Quraisy Makkah, Ali memainkan peran kunci. Sebelum pertempuran umum dimulai, Ali berpartisipasi dalam pertarungan duel tiga lawan tiga. Ali berhasil mengalahkan Walid ibn Utbah, salah satu komandan Quraisy yang paling ditakuti. Menurut riwayat, Ali telah membunuh banyak musuh dalam pertempuran itu, menunjukkan ketidakgentaran yang luar biasa di usia mudanya.
Pada Perang Uhud, ketika banyak Muslim terpukul mundur, Ali adalah salah satu dari sedikit orang yang tetap teguh melindungi Nabi Muhammad SAW. Keberaniannya saat itu menjadi inspirasi bagi para sahabat lainnya. Di Perang Khandaq (Parit), yang merupakan pengepungan besar terhadap Madinah oleh koalisi suku, Ali kembali menghadapi tantangan yang menentukan.
Pahlawan Quraisy, Amr ibn Abd Wudd, yang terkenal tak terkalahkan, berhasil melompati parit dan menantang duel. Keberanian Amr begitu menakutkan sehingga para sahabat enggan menghadapinya, kecuali Ali. Nabi SAW memberinya pedang Zulfiqar, pedang legendaris yang akan selalu dikaitkan dengannya, seraya berkata, "Hari ini iman sepenuhnya menghadapi syirik sepenuhnya." Ali berhasil mengalahkan Amr dalam duel sengit. Kemenangan ini secara moral menghancurkan koalisi Quraisy, lebih efektif daripada pertempuran massal.
Penaklukan benteng Yahudi di Khaybar adalah puncak demonstrasi kekuatan fisik dan spiritual Ali. Setelah beberapa hari pengepungan tanpa hasil, dan beberapa sahabat senior gagal menaklukkan benteng, Nabi Muhammad SAW mengumumkan: "Besok, aku akan memberikan panji kepada seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Dia adalah penyerang yang tidak pernah lari, dan Allah akan memberikan kemenangan melalui tangannya."
Keesokan harinya, Ali, yang saat itu menderita sakit mata, dipanggil. Nabi meludahi matanya, dan seketika itu juga matanya sembuh. Ali menerima panji dan bergerak maju menuju benteng Naim. Ketika sampai di pintu gerbang benteng yang sangat kokoh, Ali berhasil mencabut gerbang besi yang besar—sebuah gerbang yang konon memerlukan delapan orang untuk memindahkannya—dan menggunakannya sebagai perisai. Ia kemudian berhasil menembus pertahanan benteng dan membawa kemenangan bagi umat Muslim.
Kisah Khaybar tidak hanya tentang kekuatan fisik. Ia menjadi bukti spiritualitas Ali yang mendalam. Nabi SAW bahkan sempat mengucapkan sebuah ungkapan yang sangat penting mengenai status Ali: "Ali adalah dariku dan aku darinya," dan di kesempatan lain, "Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah gerbangnya."
Jika keberanian Ali diakui di medan perang, kecerdasannya diakui di majelis ilmu. Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, Ali menjadi rujukan utama bagi para sahabat dalam berbagai masalah teologis, hukum, dan tata bahasa Arab. Kedekatannya dengan Nabi selama puluhan tahun memberinya pemahaman yang mendalam tentang konteks dan makna wahyu.
Perkataan Nabi Muhammad SAW yang menyebut Ali sebagai "gerbang kota ilmu" menegaskan kedudukannya sebagai otoritas utama setelah Nabi sendiri. Pengetahuan Ali mencakup berbagai disiplin ilmu:
Warisan intelektual Ali yang paling monumental adalah Nahj al-Balaghah (Jalan Kefasihan), sebuah kompilasi khotbah, surat, dan perkataannya. Meskipun dikompilasi oleh Sayyid Razi berabad-abad kemudian, karya ini menampilkan kefasihan linguistik, kedalaman filosofis, dan visi politik yang luar biasa. Nahj al-Balaghah membahas spektrum topik yang luas:
Dalam khotbah-khotbahnya, Ali membahas eksistensi Allah SWT, sifat-sifat-Nya yang transenden, dan keharusan ketaatan. Ia menekankan bahwa Tuhan tidak dapat dipahami sepenuhnya oleh akal murni, tetapi jejak kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya terlihat dalam penciptaan alam semesta. Penjelasannya tentang monoteisme (Tauhid) sangat mendalam, menjauhi antropomorfisme dan penyerupaan.
Ali sering menyerukan Zuhud (asketisme) yang tidak berarti menjauhi dunia sepenuhnya, melainkan menjauhi keterikatan hati yang berlebihan pada kekayaan duniawi. Ia mendorong umatnya untuk menjadi pelayan bagi kaum miskin dan waspada terhadap godaan hawa nafsu. Moralitas, baginya, adalah praktik nyata yang harus tercermin dalam setiap aspek kehidupan, mulai dari perdagangan hingga pemerintahan.
Surat-surat yang ditulisnya kepada para gubernur, khususnya kepada Malik al-Ashtar (gubernur Mesir), adalah mahakarya administrasi dan etika politik Islam. Surat ini menjadi pedoman abadi mengenai bagaimana seorang pemimpin harus bertindak. Ali menekankan bahwa seorang pemimpin harus menghindari favoritisme, mendengarkan keluhan rakyat jelata, dan memastikan keadilan distributif.
"Ketahuilah, Malik, bahwa rakyat terdiri dari dua jenis: mereka adalah saudaramu seagama, atau saudaramu sesama manusia. Perlakukan mereka dengan kasih sayang, belas kasihan, dan kebaikan. Janganlah kamu menjadi binatang buas yang mencabik-cabik mereka, karena mereka akan terbagi menjadi dua kelompok: yang teraniaya dan yang menganiaya."
Setelah wafatnya Khalifah Utsman ibn Affan, masyarakat Madinah dan Kufah mendesak Ali untuk menerima jabatan Khilafah pada tahun 35 H (656 M). Ia enggan pada awalnya, menyadari bahwa Khilafah saat itu adalah jabatan yang penuh gejolak dan fitnah (ujian). Namun, demi menjaga keutuhan umat, ia menerima tanggung jawab tersebut. Masa kepemimpinannya, meskipun singkat—hanya sekitar lima tahun—dipenuhi dengan perjuangan menegakkan kembali prinsip-prinsip keadilan sosial dan melawan perpecahan internal.
Ali segera mengambil langkah radikal untuk mereformasi administrasi yang dianggapnya menyimpang. Ia mencabut gubernur-gubernur yang diangkat oleh Utsman dan menunjuk orang-orang yang ia yakini memiliki integritas. Langkah ini, meski berdasarkan prinsip keadilan, segera memicu oposisi dari kelompok-kelompok yang kepentingannya terganggu, terutama mereka yang telah memperoleh kekayaan dan posisi selama masa-masa sebelumnya.
Dua tuntutan utama muncul: penangkapan dan hukuman segera bagi pembunuh Utsman, dan pengembalian ke sistem distribusi kekayaan yang ketat berdasarkan kesetaraan, seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar. Ali menolak tuntutan untuk menghukum pembunuh Utsman secara tergesa-gesa, menyatakan bahwa stabilitas harus dicapai terlebih dahulu. Penolakan ini menjadi pemicu serangkaian konflik sipil yang dikenal sebagai Fitnah Kubra (Ujian Besar).
Perlawanan pertama datang dari sekelompok sahabat terkemuka, dipimpin oleh Talhah ibn Ubaidillah, Az-Zubair ibn Al-Awwam, dan Aisha binti Abu Bakar. Mereka menuntut pembalasan atas darah Utsman. Pasukan Ali bertemu dengan mereka dekat Basra. Ali berusaha keras menghindari pertempuran melalui negosiasi yang panjang. Sayangnya, ketegangan terlalu tinggi, dan pertempuran tak terhindarkan. Pertempuran ini dikenal sebagai Perang Jamal karena Aisha berada di atas unta di medan perang.
Ali memenangkan pertempuran tersebut. Namun, kemenangan itu terasa pahit. Ia sangat menghormati Talhah dan Az-Zubair, dan setelah perang ia memperlakukan Aisha dengan sangat hormat dan memastikannya dikawal kembali ke Madinah dengan aman. Perang Jamal adalah tragedi pertama di mana umat Islam mengangkat pedang melawan sesama Muslim, merusak persatuan yang telah dibangun sejak masa Madinah.
Tantangan terbesar Ali datang dari Muawiyah ibn Abi Sufyan, gubernur Syam (Suriah) yang sangat kuat. Muawiyah menolak mengakui Ali sebagai Khalifah sampai Ali membalas kematian Utsman. Ali berpendapat bahwa kepatuhan harus didahulukan, baru kemudian masalah internal diselesaikan. Konflik ini memuncak di Perang Siffin di tepi Sungai Eufrat.
Perang Siffin adalah pertempuran yang berlangsung selama berminggu-minggu dan sangat berdarah. Ketika pasukan Ali hampir mencapai kemenangan mutlak, Muawiyah menggunakan taktik cerdik: mengangkat mushaf (Al-Qur'an) di ujung tombak, menyerukan arbitrase (Tahkim) berdasarkan Kitab Allah.
Ali menolak arbitrase tersebut, menyadari itu adalah taktik untuk menghindari kekalahan, tetapi sebagian besar pasukannya mendesak agar arbitrase diterima, khawatir melawan seruan merujuk kepada Al-Qur'an. Ali terpaksa menyetujui, menunjuk Abu Musa al-Asy'ari sebagai wakilnya, sementara Muawiyah menunjuk Amr ibn al-Ash.
Arbitrase tersebut berakhir dengan kegagalan bagi Ali. Kedua wakil bertemu di Dumatul Jandal. Setelah negosiasi yang alot, Amr ibn al-Ash berhasil mengelabui Abu Musa. Hasilnya adalah kedua pemimpin (Ali dan Muawiyah) dicopot dari jabatan. Tentu saja, Muawiyah tidak dicopot dalam praktiknya, dan arbitrase ini semakin melemahkan otoritas Ali, sekaligus membagi umat Islam secara permanen.
Konsekuensi paling fatal dari Siffin adalah munculnya kelompok Khawarij ("Mereka yang Keluar"). Kelompok ini awalnya adalah bagian dari pasukan Ali yang sangat fundamentalis. Setelah Ali setuju arbitrase, mereka berpendapat bahwa "Hukum hanyalah milik Allah" (La hukma illa lillah) dan menuduh Ali telah berbuat syirik (kekafiran) karena menyerahkan keputusan manusia kepada manusia (arbitrase).
Khawarij mundur dan mendirikan basis di Nahrawan, mulai menyerang dan membunuh Muslim lain yang mereka anggap murtad. Ali berusaha keras merayu mereka kembali, namun ketika Khawarij menjadi ancaman nyata terhadap keamanan publik, Ali terpaksa memerangi mereka dalam Perang Nahrawan. Ali berhasil mengalahkan mereka, tetapi ideologi Khawarij tetap hidup dan menjadi sumber teror di masa mendatang.
Meskipun masa Khilafahnya diwarnai konflik, Ali tidak pernah berkompromi dengan prinsip-prinsip dasarnya. Ia memandang dirinya bukan sebagai raja, melainkan sebagai pelayan dan pelaksana syariat. Keadilannya diterapkan tanpa memandang pangkat atau kedudukan.
Ali bersikeras bahwa kekayaan publik (Baitul Mal) harus didistribusikan secara merata di antara semua Muslim, tanpa memandang masa keislaman, suku, atau status sosial. Ia menolak sistem distribusi yang berdasarkan keutamaan sejarah (seperti yang diterapkan Umar), yang memberatkan bagi masyarakat baru. Ketika ia membagikan harta, ia seringkali membersihkan Baitul Mal hingga kosong, menunjukkan bahwa harta negara bukanlah milik Khalifah.
Bahkan ketika kerabat dekatnya, seperti saudaranya Aqil, meminta perlakuan khusus, Ali menolak dengan tegas, bahkan pernah menjauhkan besi panas dari tangan Aqil sebagai metafora bahwa ia tidak akan menukarkan api neraka demi kekayaan duniawi bagi kerabatnya.
Ali sering menghadapi tuntutan hukum sebagai Khalifah. Sebuah kisah terkenal menceritakan perselisihan antara Ali dan seorang Yahudi mengenai sebuah baju zirah. Kasus ini dibawa ke hadapan hakim yang ditunjuk oleh Ali. Meskipun Ali adalah Khalifah, hakim memerlukan bukti yang jelas. Karena Ali tidak dapat menghadirkan dua saksi yang memenuhi syarat, hakim memutuskan mendukung si Yahudi. Ketika si Yahudi melihat bahwa seorang Khalifah yang berkuasa tunduk pada proses hukum yang adil, ia sangat terkesan dan kemudian memeluk Islam.
Tindakan ini mengirimkan pesan kuat bahwa di bawah pemerintahannya, tidak ada seorang pun yang berada di atas hukum. Konsep ini adalah landasan bagi yurisprudensi dan penegakan hukum dalam Islam.
Dalam pengambilan keputusan, Ali selalu berusaha merujuk kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah Nabi. Ia sangat menentang bid'ah (inovasi dalam agama) dan interpretasi yang menyimpang. Namun, ia juga dikenal karena interpretasinya yang mendalam, yang mampu melihat melampaui makna literal menuju tujuan etis dan moral dari syariat.
Meskipun Khawarij dikalahkan di Nahrawan, ideologi mereka terus menyebar. Pada akhirnya, tiga Khawarij bersepakat untuk membunuh tiga tokoh sentral yang mereka yakini bertanggung jawab atas perpecahan umat: Ali, Muawiyah, dan Amr ibn al-Ash. Mereka beranggapan bahwa dengan menyingkirkan ketiga pemimpin ini, umat Islam dapat kembali kepada jalan yang murni.
Ali diserang oleh Abdurrahman ibn Muljam di Kufah saat memimpin shalat Subuh. Ali disabet pedang beracun di bagian kepala. Setelah beberapa hari menderita, Sayyidina Ali wafat, menjadi syuhada, pada tanggal 21 Ramadhan.
Wafatnya Ali ibn Abi Thalib merupakan akhir dari periode Khulafaur Rasyidin (Khalifah yang Dibimbing dengan Benar) dan menandai transisi menuju pemerintahan dinasti (Umayyah), yang dipimpin oleh Muawiyah dari Syam. Kekhilafahan yang didirikan Ali berdasarkan prinsip-prinsip Makkah dan Madinah berakhir dalam gejolak internal.
Warisan Ali ibn Abi Thalib tidak hanya bertahan, tetapi menjadi pilar fundamental dalam struktur spiritual dan politik Islam, meskipun interpretasinya terbagi.
Umat Sunni menghormati Ali sebagai Khalifah keempat dan salah satu Al-Khulafa ar-Rasyidun terbaik. Ia dikenang karena keberaniannya (Karrar), ilmunya, dan ketakwaannya. Perkataan dan keputusannya dikutip secara luas dalam fikih dan tasawuf. Ali dianggap sebagai salah satu mata rantai transmisi ajaran spiritual (silsilah) dalam hampir semua tarekat sufi.
Bagi Syiah, Ali adalah figur yang jauh lebih sentral. Ia dianggap sebagai penerus spiritual dan politik Nabi yang sah (Imam Pertama). Syiah meyakini bahwa Nabi telah menunjuk Ali secara eksplisit sebagai penerusnya di Ghadir Khumm. Oleh karena itu, bagi Syiah, Ali adalah pemimpin yang maksum (terjaga dari dosa) dan sumber otoritas keagamaan tertinggi setelah Nabi. Keturunan Ali melalui Fatimah, yaitu Hasan dan Husain, menjadi mata rantai Imamat yang suci.
Dalam dunia Tasawuf, Ali memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Hampir semua silsilah spiritual (rantai guru-murid) dari tarekat-tarekat Sufi di seluruh dunia Islam, dengan pengecualian Tarekat Naqsyabandiyah (yang merujuk ke Abu Bakar), menelusuri garis mereka kembali kepada Ali ibn Abi Thalib. Ali dianggap sebagai penjaga rahasia batiniah (ilmu ladunni) yang diwariskan langsung dari Nabi Muhammad SAW. Kezuhudan (asketisme) dan penekanannya pada makna batin Al-Qur'an menjadikan beliau patron spiritual para Sufi.
Para Sufi merayakan Ali bukan hanya sebagai ksatria perang, tetapi sebagai Qutb (Kutub/Pusat) spiritual yang memahami esensi realitas ilahi. Kedalaman doanya, khotbah-khotbahnya tentang keindahan Allah, dan nasihatnya tentang pentingnya membersihkan hati menjadi inti dari ajaran mistis Islam.
Ali tidak hanya seorang politikus dan jenderal; ia adalah manusia yang sangat kompleks dan mendalam. Karakteristik utamanya sering diringkas dalam beberapa sifat kunci:
Meskipun ia memegang kekuasaan atas wilayah yang luas, Ali hidup dalam kemiskinan sukarela. Ia sering memperbaiki sandalnya sendiri, menambal bajunya, dan makan makanan yang sangat sederhana, seperti roti kering. Ia pernah berkata bahwa dunia ini baginya tidak lebih berharga daripada tulang babi di tangan penderita kusta. Zuhudnya adalah simbol penolakannya terhadap kemewahan yang mulai merayap masuk ke dalam masyarakat Muslim pada masa itu.
Keberanian Ali tidak terbatas pada medan perang. Ia memiliki keberanian moral untuk mengatakan kebenaran kepada yang berkuasa dan menolak melakukan apa yang mudah demi apa yang benar. Keputusannya yang teguh untuk memecat gubernur korup, meskipun ia tahu itu akan memicu pemberontakan, menunjukkan integritas moral yang luar biasa.
Ali dikenal karena perhatiannya yang luar biasa terhadap kaum tertindas, janda, dan anak yatim. Ia sering berkeliling Kufah pada malam hari, mencari tahu siapa yang kelaparan. Ada kisah di mana ia terlihat membawa karung gandum di punggungnya, dan ketika ditanya mengapa ia tidak meminta pembantunya, ia menjawab: "Aku harus memikul bebanku sendiri." Kemanusiaannya adalah model kepemimpinan yang berempati.
Ali ibn Abi Thalib memainkan peran yang tidak tergantikan dalam konservasi dan penyebaran ilmu-ilmu Islam yang mendasar. Karena ia adalah satu-satunya sahabat yang dibesarkan di rumah Nabi sejak kecil, ia memiliki pemahaman yang berkelanjutan tentang evolusi risalah Islam.
Ali adalah salah satu perawi Hadits yang paling sering dikutip. Transmisi Hadits darinya dikenal karena keakuratan dan kedalamannya. Ia tidak hanya meriwayatkan perkataan Nabi, tetapi juga menjelaskan konteks, makna, dan implikasi hukum dari Hadits tersebut, seringkali memberikan wawasan yang tidak dimiliki oleh perawi lain.
Dalam tradisi spiritual, Ali sering dikaitkan dengan Jafr (ilmu numerologi dan ramalan) dan pemahaman mendalam tentang rahasia-rahasia huruf Arab. Meskipun aspek ini sering dilebih-lebihkan dalam cerita rakyat dan mistisisme ekstrem, hal itu menunjukkan pandangan bahwa Ali adalah penerima ilmu batiniah (esoteris) dari Nabi, melengkapi ilmu lahiriah (eksoteris) yang ia ajarkan secara publik.
Setelah memindahkan ibu kota Khilafah ke Kufah, Ali mengubah kota tersebut menjadi pusat intelektual. Kufah menjadi pesaing Madinah dalam hal ilmu agama, hukum, dan tata bahasa. Banyak murid dan cendekiawan besar generasi berikutnya, seperti Hasan al-Basri (dalam Sufisme) dan para perawi Hadits terkemuka, adalah produk langsung atau tidak langsung dari sekolah yang didirikan Ali di Kufah.
Di Kufah, Ali secara rutin mengadakan majelis ilmu di mana ia menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kompleks mengenai metafisika, alam semesta, dan hukum. Ia tidak hanya memberikan jawaban dogmatis, tetapi mengajarkan metode berpikir dan menganalisis, menjadikan Kufah sebuah ‘universitas’ terbuka bagi semua disiplin ilmu.
Sayyidina Ali ibn Abi Thalib adalah tokoh yang melampaui batas-batas definisi sederhana. Ia adalah simbol keberanian di Perang Khaybar, puncak kebijaksanaan di Nahj al-Balaghah, dan personifikasi keadilan dalam administrasinya di Kufah.
Kehidupannya adalah cerminan dari tantangan transisi masyarakat. Ia berjuang untuk menegakkan idealisme kenabian di tengah realitas politik yang semakin pragmatis dan materialistis. Kegagalan politiknya dalam memadamkan Fitnah Kubra tidak mengurangi keberhasilannya sebagai manusia dan pemimpin spiritual. Justru, kisah konflik internalnya menyoroti betapa sulitnya memegang kekuasaan tanpa kompromi moral di tengah ambisi manusia.
Warisan Ali tetap hidup, bukan hanya dalam buku-buku sejarah, tetapi dalam hati miliaran Muslim sebagai patron spiritual, panutan keberanian, dan sumber tak terbatas bagi ilmu pengetahuan Islam. Ali, Abi Bin Thalib, tetap menjadi mercusuar yang memandu umat dalam mencari kebenaran, keadilan, dan kesatuan, sepanjang masa dan peradaban.
Pengaruhnya pada teologi dan spiritualitas sangat mendalam sehingga tidak mungkin memahami dinamika Islam tanpa mempelajari karakternya yang teguh. Dalam kesederhanaannya, ia menemukan kekuatan. Dalam kebijaksanaannya, ia menemukan keadilan. Dan dalam pengorbanannya, ia meninggalkan pelajaran abadi tentang kepemimpinan yang berintegritas. Ali, sang Singa Allah, adalah sosok yang menuntut kajian yang berkelanjutan, karena setiap sudut kehidupannya menyimpan mutiara hikmah bagi umat manusia.