Sejarah Islam tidak dapat dipisahkan dari peran sentral seorang pria yang dikenal sebagai Abdullah bin Abi Quhafah, atau lebih masyhur dengan sebutan Abu Bakar As-Siddiq. Julukan 'As-Siddiq', yang berarti 'Sang Pembenar' atau 'Yang Sangat Jujur', diberikan langsung oleh Nabi Muhammad SAW atas keteguhan imannya yang tanpa keraguan sedikit pun, terutama dalam menerima peristiwa luar biasa seperti Isra' Mi'raj.
Abu Bakar bukan hanya Khalifah pertama setelah wafatnya Rasulullah SAW, tetapi juga merupakan sahabat yang paling setia, pendamping dalam momen-momen paling krusial dalam sejarah Islam, termasuk perjalanan hijrah yang monumental. Masa kepemimpinannya yang singkat, hanya sekitar dua tahun lebih sedikit, merupakan periode paling kritis dan menentukan bagi kelangsungan komunitas Muslim (umat) di Semenanjung Arab. Tanpa kepemimpinan tegas dan visioner dari Abu Bakar, Khilafah kemungkinan besar akan runtuh di tengah badai perpecahan dan kemurtadan (Riddah).
Abu Bakar lahir di Mekkah, dari suku Quraisy, klan Bani Taim. Ia memiliki silsilah yang murni dan terpandang. Nama aslinya adalah Abdullah, namun ia lebih dikenal dengan kunyah (nama panggilan) Abu Bakar, yang secara harfiah berarti 'ayah dari Bakar' (merujuk pada unta muda yang ia miliki atau anak perempuannya). Sebelum Islam, ia adalah seorang pedagang yang sukses, disegani karena kejujuran, moralitas tinggi, dan pengetahuannya yang luas tentang silsilah dan sejarah suku-suku Arab.
Bahkan di masa Jahiliyah, hubungan antara Abu Bakar dan Muhammad bin Abdullah sudah terjalin erat. Keduanya memiliki kedekatan personal yang melampaui ikatan suku. Abu Bakar adalah salah satu dari sedikit orang Mekkah yang dikenal menjauhi kebiasaan buruk masyarakat saat itu, seperti mabuk-mabukan dan praktik penyembahan berhala yang merendahkan martabat.
Ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu dan mulai berdakwah secara rahasia, Abu Bakar adalah orang dewasa pertama yang memeluk Islam, segera setelah Khadijah binti Khuwailid dan Ali bin Abi Thalib. Penerimaan Islam oleh Abu Bakar adalah peristiwa yang sangat penting. Sebagai seorang pedagang kaya dan berpengaruh, keislamannya memberikan validasi sosial yang besar bagi dakwah awal yang saat itu masih lemah dan terancam.
Kepercayaan Abu Bakar datang tanpa keraguan, sebuah testimoni atas karakter Muhammad yang sudah ia kenal puluhan tahun. Ia tidak hanya menerima ajaran tersebut tetapi juga segera mendedikasikan kekayaan dan pengaruhnya untuk jalan Allah. Rumahnya di Mekkah menjadi markas awal bagi para mualaf yang baru masuk Islam.
Salah satu kontribusi paling awal dan paling berharga dari Abu Bakar adalah upayanya membebaskan budak-budak yang dianiaya karena keimanan mereka. Kekayaan yang ia peroleh dari perdagangan digunakan untuk membeli kebebasan mereka. Tokoh-tokoh penting seperti Bilal bin Rabah, Amir bin Fuhayrah, Zinnirah, dan budak-budak wanita lainnya yang disiksa oleh majikan Quraisy mereka, dibebaskan oleh Abu Bakar.
Tindakan ini menunjukkan karakter kedermawanan dan prinsip keadilan yang kuat. Ketika ditanya mengapa ia membebaskan budak-budak lemah ini—yang tidak memiliki manfaat politik atau militer baginya—padahal ia bisa saja membebaskan budak-budak yang lebih kuat dari suku yang terpandang, Abu Bakar menjawab bahwa ia melakukannya hanya untuk mencari keridaan Allah. Ayat-ayat Al-Qur'an (Surat Al-Lail, 17-21) diyakini turun untuk memuji tindakan mulia ini.
Ilustrasi: Kepercayaan dan Kontribusi Intelektual Abu Bakar As-Siddiq.
Selama periode penganiayaan di Mekkah, Abu Bakar berdiri teguh di sisi Nabi Muhammad SAW. Ia sering kali menjadi tameng fisik dan moral. Ketika kaum Quraisy meningkatkan penyiksaan dan embargo terhadap Bani Hasyim, Abu Bakar memastikan logistik dan keamanan bagi Nabi. Pengorbanannya tidak hanya bersifat finansial, tetapi juga emosional dan fisik. Ia menghadapi ancaman langsung, namun tidak pernah goyah.
Kedekatan mereka sangat mendalam. Abu Bakar adalah satu-satunya sahabat yang rumahnya berdekatan langsung dengan rumah Nabi, dan ia memiliki akses tak terbatas kepada Rasulullah. Kedekatan ini memungkinkannya untuk memahami nuansa dakwah dan strategi Nabi secara lebih mendalam daripada yang lain.
Peristiwa Hijrah dari Mekkah ke Medinah merupakan momen paling menentukan yang mengabadikan persahabatan antara Abu Bakar dan Nabi Muhammad SAW. Ketika rencana pembunuhan Nabi disiapkan, Allah memerintahkan Hijrah. Nabi Muhammad memilih Abu Bakar sebagai satu-satunya pendampingnya dalam perjalanan berbahaya ini.
Sebelum mereka meninggalkan Mekkah, Abu Bakar telah menyiapkan segala sesuatu: dua unta yang kuat, bekal perjalanan, dan jaringan mata-mata (Asma binti Abi Bakar membawa makanan; Abdullah bin Abi Bakar mengumpulkan berita; Amir bin Fuhayrah menghapus jejak kaki). Ini menunjukkan perencanaan strategis yang cermat dari Abu Bakar.
Puncak dari ujian ini terjadi di Gua Tsur. Selama tiga hari mereka bersembunyi di sana sementara kaum Quraisy mencari mereka dengan hadiah besar. Sebuah kisah terkenal menyebutkan bagaimana Abu Bakar menutup semua lubang di gua dengan pakaiannya, khawatir serangga atau ular akan menggigit Nabi, dan ia sendiri digigit tetapi menahan rasa sakit agar Nabi tetap tertidur pulas. Ketika mereka mendengar suara para pengejar yang telah sampai di mulut gua, kekhawatiran melanda Abu Bakar. Nabi Muhammad kemudian mengucapkan kata-kata yang diabadikan dalam Al-Qur'an (Surat At-Taubah, ayat 40): “Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah beserta kita.” Momen ini menegaskan status Abu Bakar sebagai 'sahabat dalam gua', sebuah gelar kehormatan tertinggi.
Setelah tiba di Medinah, peran Abu Bakar berkembang dari pendamping pribadi menjadi arsitek masyarakat. Ia terlibat aktif dalam pembangunan Masjid Nabawi, dan ia memperkuat ikatan persaudaraan (Mu'akhah) antara Muhajirin dan Ansar. Meskipun ia adalah seorang pedagang, ia menunjukkan kemampuan administrasi yang luar biasa, menjadi penasihat utama Nabi dalam urusan politik dan militer.
Anak perempuannya, Aisyah, dinikahi oleh Nabi Muhammad, yang semakin memperkuat ikatan keluarga dan statusnya di komunitas Muslim. Melalui Aisyah, banyak hadis dan ajaran Nabi yang kemudian diriwayatkan, menjadikan keluarga Abu Bakar sebagai sumber pengetahuan Islam yang vital.
Meskipun dikenal sebagai pria yang lembut, Abu Bakar menunjukkan keberanian yang tak tertandingi di medan perang. Ia ikut serta dalam hampir semua pertempuran besar, mulai dari Badr, Uhud, hingga Khandaq dan Tabuk. Di Badr, ia berdiri di sisi Nabi di markas komando dan memberikan perlindungan vital.
Dalam banyak situasi, ia menunjukkan kerelaan untuk berkorban tanpa batas. Ketika dibutuhkan dana untuk ekspedisi Tabuk (perang yang sangat sulit dan jauh), Abu Bakar menyumbangkan seluruh kekayaannya. Ketika ditanya Nabi apa yang ia sisakan untuk keluarganya, ia menjawab, “Allah dan Rasul-Nya.” Pengorbanan finansial ini menetapkan standar kesalehan dan pengabdian yang tinggi bagi seluruh umat.
Pada hari-hari terakhir kehidupan Nabi Muhammad SAW, ketika beliau sakit parah dan tidak mampu memimpin shalat berjamaah, beliau secara eksplisit memerintahkan Abu Bakar untuk memimpin shalat. Penunjukan ini, meski hanya untuk urusan spiritual, secara luas ditafsirkan oleh para Sahabat sebagai indikasi bahwa Nabi memilih Abu Bakar sebagai pewaris kepemimpinan umat dalam semua urusan—politik, spiritual, dan sosial—setelah beliau wafat.
Para sarjana fikih dan sejarah menekankan pentingnya penunjukan ini. Dalam tradisi Arab, pemimpin spiritual adalah juga pemimpin politik. Fakta bahwa Abu Bakar memimpin shalat di hadapan seluruh jemaah, termasuk Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khattab, menjadi landasan utama bagi legitimasi pengangkatannya sebagai Khalifah.
Wafatnya Nabi Muhammad SAW adalah pukulan telak bagi komunitas Muslim. Banyak sahabat, termasuk Umar bin Khattab, berada dalam kondisi syok dan penolakan, bahkan menyatakan bahwa Nabi tidak meninggal. Dalam momen kekacauan emosional dan spiritual yang sangat rentan ini, kepemimpinan Abu Bakar menjadi jangkar stabilitas.
Abu Bakar, yang saat itu tidak berada di sisi Nabi, segera datang. Ia mencium kening Nabi yang telah meninggal dan kemudian pergi ke Masjid Nabawi. Dengan ketenangan dan ketegasan luar biasa, ia berpidato di hadapan umat yang berkumpul, membacakan ayat Al-Qur'an:
"Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul; sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur." (QS. Ali Imran: 144)
Pidato ini mengembalikan kesadaran dan menstabilkan umat yang hampir tercerai-berai oleh kesedihan, mengalihkan fokus mereka dari kehilangan sosok Nabi kepada kelangsungan misi Ilahi. Momen ini adalah demonstrasi pertama dari kapasitas kepemimpinan Abu Bakar di tingkat negara.
Sebelum jenazah Nabi dimakamkan, isu suksesi harus segera diselesaikan. Beberapa kelompok Ansar berkumpul di Saqifah Bani Sa'idah untuk mendiskusikan siapa yang harus memimpin. Mereka khawatir bahwa kepemimpinan akan kembali ke tangan Muhajirin dan mereka akan kehilangan peran sentral dalam pemerintahan.
Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah segera bergegas ke Saqifah, diikuti oleh Abu Bakar. Diskusi di Saqifah berlangsung sengit. Kaum Ansar mengusulkan agar kepemimpinan dibagi dua (satu dari Ansar, satu dari Muhajirin). Abu Bakar dengan bijaksana mengajukan argumen bahwa kepemimpinan harus berada di tangan Quraisy, suku Nabi, karena suku-suku Arab lainnya lebih cenderung mendengarkan mereka. Ia menekankan bahwa Ansar adalah pembantu (wuzara) tetapi Khilafah harus dipimpin oleh Quraisy (umara).
Untuk menghindari perpecahan yang mengancam, Abu Bakar kemudian mengusulkan agar Umar bin Khattab atau Abu Ubaidah menjadi Khalifah. Namun, Umar bin Khattab, menyadari keunggulan dan kepantasan Abu Bakar, segera membaiatnya. Langkah ini diikuti oleh Abu Ubaidah dan kemudian oleh seluruh yang hadir, menyelesaikan krisis kepemimpinan yang berpotensi memecah belah Islam di saat kelahirannya.
Setelah pembaiatan umum di Masjid Nabawi, Abu Bakar menyampaikan pidato yang menjadi cetak biru bagi pemerintahan Islam yang adil:
"Wahai sekalian manusia, aku telah diangkat memimpin kalian, padahal aku bukanlah yang terbaik di antara kalian. Jika aku berbuat baik, dukunglah aku. Jika aku berbuat salah, luruskanlah aku. Kejujuran adalah amanah, dan kebohongan adalah pengkhianatan. Orang yang kuat di antara kalian adalah orang yang lemah di mataku sampai aku mengambil hak (yang bukan miliknya) darinya. Dan orang yang lemah di antara kalian adalah orang yang kuat di mataku sampai aku mengembalikan haknya kepadanya. Taatilah aku selama aku menaati Allah dan Rasul-Nya. Jika aku bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka kalian tidak wajib menaatiku."
Pidato ini menanamkan prinsip fundamental dalam sistem Khilafah: kepemimpinan adalah amanah, legitimasi kekuasaan didasarkan pada ketaatan kepada syariat, dan penguasa wajib dikritik dan diluruskan. Ia segera menolak semua gelar kecuali 'Khalifatu Rasulillah' (Pewakil Rasulullah).
Masa Khilafah Abu Bakar, meski hanya berlangsung dua tahun tiga bulan (dari 632 hingga 634 M), adalah periode paling transformatif dan penuh tantangan. Ia menghadapi tiga ancaman eksistensial yang terjadi secara simultan: perpecahan internal, kemurtadan (Riddah), dan munculnya nabi-nabi palsu.
Tantangan pertama Abu Bakar adalah meneruskan wasiat Nabi Muhammad SAW: mengirim ekspedisi militer pimpinan Usamah bin Zaid ke perbatasan Syam, sebagai balasan atas terbunuhnya Zaid bin Haritsah (ayah Usamah) dalam Perang Mu'tah. Ketika Nabi wafat, Usamah dan pasukannya siap berangkat.
Para sahabat terkemuka, termasuk Umar, menasihati Abu Bakar untuk membatalkan atau menunda ekspedisi tersebut. Alasannya jelas: Medinah terancam. Banyak suku Arab telah murtad atau menolak membayar zakat, dan Medinah kekurangan prajurit. Namun, Abu Bakar menolak dengan tegas, menyatakan:
"Aku tidak akan membatalkan perintah yang telah ditetapkan oleh Rasulullah, meskipun aku harus berjalan sendirian di jalanan Madinah."
Keputusan ini bukan hanya masalah ketaatan terhadap perintah Nabi, tetapi juga sebuah pernyataan politik yang kuat. Dengan mengirim pasukan Usamah, Abu Bakar menunjukkan bahwa pemerintah pusat di Medinah masih kuat dan beroperasi normal. Keberangkatan pasukan ini, meskipun sebentar, berhasil mengintimidasi beberapa suku yang sedang mempertimbangkan untuk menyerang Medinah.
Ancaman terbesar bagi Khilafah adalah Perang Riddah. Setelah wafatnya Nabi, banyak suku Arab di luar Medinah menganggap perjanjian mereka dengan Nabi telah berakhir. Mereka terbagi menjadi dua kelompok:
Para sahabat menyarankan agar Abu Bakar berkompromi dengan kelompok penolak zakat, karena mereka masih shalat. Namun, Abu Bakar, dengan pemahaman fikih yang mendalam, berargumen bahwa shalat dan zakat adalah pilar Islam yang tidak dapat dipisahkan. Ia mengucapkan kalimatnya yang terkenal: "Demi Allah, aku akan memerangi siapa saja yang memisahkan antara shalat dan zakat."
Abu Bakar menunjukkan kecemerlangan strategis dengan membagi pasukan Muslim yang tersisa menjadi sebelas kontingen, masing-masing dipimpin oleh seorang komandan ahli. Strategi ini memungkinkan Khilafah untuk melawan pemberontakan di berbagai front secara simultan. Tokoh sentral dalam Perang Riddah adalah Khalid bin Walid, yang diangkat menjadi komandan utama.
Puncak dari Perang Riddah adalah Pertempuran Yamamah melawan Musailamah Al-Kadzdzab. Pertempuran ini sangat sengit dan mengakibatkan kerugian besar di pihak Muslim, terutama gugurnya ratusan penghafal Al-Qur'an (huffaz). Kemenangan di Yamamah mengakhiri ancaman nabi-nabi palsu dan secara efektif mengkonsolidasikan kembali seluruh Semenanjung Arab di bawah kekuasaan Medinah. Dalam waktu satu tahun, Abu Bakar berhasil memulihkan persatuan politik dan agama yang nyaris hancur. Ini adalah pencapaian militer dan politik yang luar biasa dalam waktu yang sangat singkat.
Konsekuensi paling penting dari Perang Riddah (khususnya Yamamah) adalah ancaman terhadap kelangsungan teks Al-Qur'an. Karena banyak penghafal yang gugur, Umar bin Khattab khawatir Al-Qur'an akan hilang. Ia mendesak Abu Bakar untuk mengumpulkan semua lembaran Al-Qur'an yang tersebar menjadi satu mushaf (buku).
Awalnya, Abu Bakar ragu, bertanya, “Bagaimana aku melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah?” Namun, setelah Umar terus meyakinkannya, Abu Bakar akhirnya setuju. Ia menugaskan Zaid bin Tsabit, seorang sekretaris Nabi yang ahli dan penghafal muda, untuk memimpin komite pengumpulan. Zaid menerapkan metodologi yang sangat ketat: setiap ayat harus dikonfirmasi melalui setidaknya dua saksi yang mendengarnya langsung dari Nabi, dan harus diverifikasi dengan apa yang telah ditulis di kulit, tulang, atau pelepah kurma.
Tindakan ini adalah warisan intelektual dan spiritual terbesar Abu Bakar. Tanpa inisiatifnya, integritas Al-Qur'an mungkin telah terancam, menjamin keaslian teks suci bagi generasi mendatang.
Inisiasi Pengumpulan Al-Qur'an atas perintah Abu Bakar.
Meskipun masa jabatannya singkat, Abu Bakar mulai meletakkan fondasi institusional untuk negara Islam. Pemerintahan Khilafah di Medinah sangat sederhana, berpusat pada Masjid Nabawi. Ia menggunakan Umar bin Khattab sebagai Kepala Hakim dan juga sebagai pengelola Bayt al-Mal (Perbendaharaan Negara), meskipun pada masa ini Bayt al-Mal masih sangat kecil dan sebagian besar harta langsung didistribusikan.
Tidak seperti penguasa di masa lain, Abu Bakar menolak untuk mengambil gaji atau tunjangan dari kas negara pada awalnya. Ia bersikeras untuk tetap berdagang untuk menafkahi keluarganya. Baru setelah desakan para sahabat, yang khawatir bahwa kegiatan berdagang akan mengganggu tugas-tugas negara yang mendesak, ia menerima tunjangan yang sangat minim, sebanding dengan pendapatan seorang buruh biasa di Medinah. Ketika ia wafat, ia berwasiat agar jumlah tunjangan yang telah ia terima dikembalikan ke Bayt al-Mal, menunjukkan integritas keuangannya yang luar biasa.
Sistem peradilan pada masa Abu Bakar dicirikan oleh aksesibilitas dan kesederhanaan. Karena kedekatan Medinah, masalah diselesaikan dengan cepat melalui konsultasi langsung dengan Khalifah, Umar, atau Ali. Prinsip utama yang ditekankan adalah penerapan Syariah secara konsisten, tanpa memandang status sosial atau suku. Kasus-kasus yang paling rumit seringkali dirujuk kepada Ali bin Abi Thalib, yang diakui keahliannya dalam fikih dan hukum.
Setelah meredanya Perang Riddah, Abu Bakar harus menunjuk gubernur (wali) untuk wilayah-wilayah yang baru ditaklukkan kembali (atau yang tetap setia). Ia memilih komandan militer dan individu yang sangat saleh. Misalnya, ia menunjuk Muadz bin Jabal untuk Yaman, yang tidak hanya berfungsi sebagai penguasa tetapi juga sebagai guru agama dan pengumpul zakat, menunjukkan bahwa pemimpin daerah harus memiliki kompetensi spiritual dan administratif.
Setelah stabilitas internal tercapai, Abu Bakar mengalihkan fokusnya ke perbatasan luar. Tujuan awal ekspansi ini adalah twofold: untuk mengamankan perbatasan dari serangan dua kekuatan adidaya (Byzantium di Syam dan Persia Sasanid di Irak), dan untuk menyebarkan pesan Islam ke luar Arab.
Abu Bakar menunjuk Khalid bin Walid sebagai komandan untuk invasi Irak, yang saat itu di bawah kekuasaan Kekaisaran Persia Sasanid. Meskipun baru saja selesai berperang di Yamamah, Khalid dan pasukannya menunjukkan kecemerlangan strategis. Serangkaian kemenangan cepat (seperti Perang Rantai) di Irak selatan membuka gerbang bagi Khilafah, mengamankan jalur perdagangan dan menciptakan penyangga vital antara Medinah dan Persia yang agresif.
Pada saat yang sama, Abu Bakar mengirim empat korps tentara ke wilayah Syam (Suriah modern, Yordania, Palestina), yang dikuasai oleh Kekaisaran Byzantium (Romawi Timur). Komandan utama termasuk Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, Yazid bin Abi Sufyan, Amr bin Ash, dan Syurahbil bin Hasanah.
Sebelum ia wafat, Abu Bakar berhasil mempersiapkan dan meluncurkan kemenangan besar pertama melawan Byzantium di Pertempuran Ajnadayn (634 M). Meskipun pertempuran ini diselesaikan di awal masa Umar, persiapan, perencanaan logistik, dan penunjukan komandan dilakukan sepenuhnya di bawah instruksi Abu Bakar. Inilah yang menandai dimulainya penaklukan Islam yang mengubah peta dunia secara dramatis.
Meskipun ia adalah seorang pedagang kaya dan kemudian menjadi pemimpin sebuah kekaisaran yang sedang berkembang, kehidupan pribadi Abu Bakar ditandai oleh kesederhanaan yang ekstrem. Ia dikenal mengenakan pakaian yang kasar dan menolak kemewahan. Seperti yang disebutkan sebelumnya, ia menolak gaji Khilafah sampai ia terpaksa menerimanya, dan ia mengembalikan semua tunjangan yang telah ia ambil saat menjelang ajalnya.
Kedermawanannya, yang ditunjukkan sejak masa awal Islam ketika ia membebaskan budak dan menyumbangkan seluruh hartanya, tetap menjadi ciri khasnya sepanjang hidup. Ia adalah seorang pemimpin yang melayani, bukan dilayani. Bahkan setelah menjadi Khalifah, ia masih dikenal membantu janda-janda tua Medinah dengan memerah susu kambing mereka—sebuah tugas yang ia teruskan hingga Umar bin Khattab mengambil alih setelah kematiannya.
Abu Bakar seringkali digambarkan memiliki karakter yang lembut dan penuh kasih sayang, yang seringkali kontras dengan temperamen Umar bin Khattab yang dikenal keras dan lugas. Namun, kelembutannya tidak berarti kelemahan. Dalam menghadapi krisis Perang Riddah, ia menunjukkan ketegasan yang mutlak, menolak kompromi dalam hal prinsip-prinsip syariat, bahkan ketika para sahabat terkemuka menyarankan jalan yang lebih lunak. Ketegasannya dalam mempertahankan integritas zakat dan memerangi nabi palsu menunjukkan kombinasi yang sempurna antara kasih sayang (terhadap Muslim yang taat) dan kekerasan yang diperlukan (terhadap pengkhianat dan murtadin).
Basis utama dari otoritas dan spiritualitas Abu Bakar adalah kecintaannya yang tak terbatas dan ketaatannya yang sempurna kepada Nabi Muhammad SAW. Ia tidak pernah mempertanyakan perintah Nabi dan selalu menjadi yang pertama membenarkan kata-kata Nabi, yang memberinya gelar 'As-Siddiq'. Seluruh keputusannya sebagai Khalifah, mulai dari ekspedisi Usamah hingga memerangi Riddah, didasarkan pada keinginan untuk meneruskan dan mempertahankan warisan yang ditinggalkan oleh Rasulullah.
Meskipun memiliki kekuasaan mutlak, Abu Bakar adalah seorang pemimpin yang sangat menghargai musyawarah (syura). Ia sering berkonsultasi dengan Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, dan para pemimpin Ansar. Keputusannya untuk mengumpulkan Al-Qur'an adalah hasil langsung dari desakan dan nasihat Umar, yang menunjukkan kerendahan hatinya untuk menerima pandangan yang lebih baik, meskipun itu bukan ide awalnya.
Abu Bakar jatuh sakit setelah memerintah selama dua tahun dan tiga bulan. Mengetahui bahwa ajalnya sudah dekat, ia menghadapi tantangan besar terakhir: penetapan suksesi. Abu Bakar menyadari bahwa perpecahan yang terjadi di Saqifah dapat terulang dan berpotensi menghancurkan Khilafah jika tidak ada kejelasan sebelum ia meninggal.
Setelah melakukan musyawarah ekstensif dengan para sahabat senior, Abu Bakar mengambil keputusan yang berani dan proaktif. Ia memutuskan untuk menunjuk penggantinya secara langsung, bukan meninggalkannya kepada pertemuan Saqifah yang rawan konflik.
Abu Bakar memanggil Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib secara terpisah untuk meminta pandangan mereka. Meskipun beberapa sahabat mengkhawatirkan watak Umar yang keras, Abu Bakar berargumen bahwa kekerasan Umar akan dimoderasi oleh kekuasaan dan tanggung jawab, dan ia adalah yang paling mampu memikul beban Khilafah yang baru stabil.
Abu Bakar mendiktekan wasiatnya kepada Utsman bin Affan, menunjuk Umar bin Khattab sebagai Khalifah berikutnya. Sebelum wasiat ini diumumkan, Abu Bakar, meskipun sakit parah, keluar sebentar ke Masjid Nabawi dan meminta umat untuk menerima keputusannya, menjelaskan bahwa ia memilihkan yang terbaik bagi mereka.
Penunjukan ini adalah tindakan kenegarawanan yang paling penting. Ini memastikan transisi kekuasaan yang lancar dan damai, mencegah krisis suksesi kedua, dan mengamankan fondasi bagi masa kejayaan yang akan datang di bawah kepemimpinan Umar (Al-Faruq).
Abu Bakar As-Siddiq wafat di Medinah pada bulan Jumadil Akhir. Ia dimakamkan di samping makam Nabi Muhammad SAW, di dalam kamar putrinya Aisyah, sesuai dengan permintaannya. Posisi kuburan Abu Bakar diletakkan sejajar dengan posisi makam Nabi, melambangkan kedekatan mereka yang tidak terpisahkan dalam hidup dan mati.
Warisan Abu Bakar jauh melampaui masa pemerintahannya yang singkat. Ia adalah arsitek utama yang mengubah komunitas Muslim yang baru lahir menjadi sebuah negara yang berfungsi penuh. Tanpa keberhasilannya dalam Perang Riddah, Islam mungkin hanya akan menjadi fenomena lokal di Hijaz. Ia berhasil memadamkan pemberontakan yang meluas dan menyatukan seluruh suku Arab di bawah satu panji keimanan dan administrasi politik yang terpusat di Medinah.
Keputusan Abu Bakar untuk meluncurkan serangan simultan ke Irak dan Syam pada akhir masa pemerintahannya menunjukkan visi geopolitik yang luar biasa. Ia menyadari bahwa kelangsungan hidup negara Islam membutuhkan pengamanan perbatasan dari dua kekuatan terbesar di dunia saat itu, yaitu Byzantium dan Persia. Langkah-langkah strategis inilah yang memungkinkan Umar bin Khattab untuk mewarisi mesin militer yang siap dan wilayah yang sudah dibuka, mengantar kepada penaklukan Mesir, Syam, dan Persia dalam waktu sepuluh tahun berikutnya.
Kontribusi terpentingnya di bidang keilmuan adalah penyelamatan teks Al-Qur'an. Dengan menanggapi kekhawatiran Umar dan membentuk komite Zaid bin Tsabit, Abu Bakar memastikan bahwa wahyu Ilahi dipelihara dalam bentuk mushaf tunggal, menjadi sumber otoritas mutlak bagi hukum, teologi, dan spiritualitas Islam selamanya. Inisiatif ini adalah fondasi bagi semua ilmu-ilmu Islam di masa depan.
Gaya kepemimpinannya menjadi model ideal bagi Khulafaur Rasyidin yang lain. Prinsip-prinsip yang ia tetapkan dalam pidato inaugurasi—transparansi, ketaatan pada hukum Ilahi, keadilan, dan kerendahan hati—menjadi standar wajib bagi para pemimpin Muslim di seluruh zaman.
Gelar 'As-Siddiq' bukanlah sekadar julukan, melainkan pengakuan atas integritas imannya. Ia selalu yang pertama membenarkan, baik dalam peristiwa Isra' Mi'raj yang melampaui nalar, maupun dalam janji-janji kemenangan di tengah kesulitan. Ketulusan ini menjadi batu penjuru bagi statusnya di antara para Sahabat.
Salah satu poin paling krusial dalam masa Khilafah Abu Bakar adalah ketegasannya dalam memerangi Mani'u az-Zakat (penolak zakat). Para ahli fikih modern sering menyoroti bahwa tindakan ini menunjukkan kedalaman pemahaman Abu Bakar terhadap prinsip-prinsip syariah, bahkan melebihi interpretasi beberapa sahabat lain saat itu.
Beberapa sahabat berpendapat bahwa selama suku-suku tersebut masih mengucapkan dua kalimat syahadat dan shalat, mereka harus diperlakukan sebagai Muslim, meskipun mereka menahan zakat. Abu Bakar dengan tegas menolak pandangan ini. Baginya, zakat bukanlah sekadar sumbangan ekonomi, melainkan kewajiban ritual (ibadah) yang tidak dapat dipisahkan dari ibadah shalat.
Ia berargumen, "Demi Allah, seandainya mereka menahan tali kekang unta yang biasa mereka berikan kepada Rasulullah, niscaya aku akan memerangi mereka karena penahanan itu." Argumennya didasarkan pada Hadis Nabi yang menyamakan zakat dengan hak atas harta. Dengan menolak pembayaran zakat kepada otoritas Medinah, suku-suku ini secara efektif mendeklarasikan otonomi politik dan melepaskan diri dari sistem negara Islam yang baru didirikan. Perang Riddah, dalam konteks ini, bukan hanya perang agama tetapi juga perang sipil untuk mempertahankan integritas teritorial dan kedaulatan negara.
Tantangan penting lainnya yang dihadapi Abu Bakar adalah tuntutan warisan atas properti Nabi. Fatimah Az-Zahra, putri Nabi, menuntut hak waris atas harta warisan Nabi. Abu Bakar harus mengambil keputusan yang sangat sulit, yang berpotensi menimbulkan ketidakpuasan di antara kerabat Nabi. Namun, ia berpegang teguh pada Hadis yang ia dengar langsung dari Nabi Muhammad SAW:
"Kami (para Nabi) tidak diwarisi; apa pun yang kami tinggalkan adalah sedekah (pajak umum)."
Abu Bakar menolak tuntutan tersebut berdasarkan prinsip syariah yang ketat. Keputusan ini, meskipun kontroversial di mata sebagian kecil komunitas, menunjukkan bahwa sebagai Khalifah, ia menempatkan ketaatan pada Sunnah dan hukum Islam di atas ikatan kekerabatan atau sentimen pribadi. Ia memutuskan bahwa seluruh properti Nabi harus menjadi aset publik (Bayt al-Mal), yang kemudian dikelola oleh Khalifah demi kepentingan umat, sebuah preseden penting dalam hukum properti negara Islam.
Sistem Bayt al-Mal (Perbendaharaan Negara) yang didirikan Abu Bakar adalah model kesederhanaan. Ia menolak untuk menimbun harta. Setiap pendapatan yang masuk, baik dari zakat, ghanimah (harta rampasan perang), atau fai' (harta yang diperoleh tanpa pertempuran), didistribusikan hampir segera kepada umat. Tidak ada perbedaan antara Muhajirin, Ansar, budak yang dibebaskan, atau bahkan wanita dan anak-anak. Semua menerima jatah yang sama, sebuah kebijakan egaliter yang menunjukkan prinsip distribusi kekayaan yang adil. Ini berbeda dengan kebijakan yang kemudian diadopsi oleh Umar, yang menerapkan sistem hirarki tunjangan (diwan) berdasarkan lamanya keislaman dan jasa militer, yang menunjukkan evolusi administrasi Khilafah dari masa ke masa.
Prinsip-prinsip yang dipegang teguh oleh Abu Bakar—ketaatan absolut terhadap teks suci, penolakan terhadap kompromi dalam hal ibadah wajib, dan pengelolaan keuangan negara dengan integritas total—menetapkan fondasi moral dan hukum yang kokoh bagi kekhalifahan Rasyidah yang bertahan selama tiga puluh tahun berikutnya.
Secara keseluruhan, kontribusi abi bakri As-Siddiq adalah monumental. Ia tidak hanya menjembatani masa kenabian dengan masa Khilafah, tetapi juga memastikan bahwa misi Islam diteruskan tidak hanya sebagai spiritualitas individu tetapi sebagai tatanan sosial-politik global yang berkelanjutan. Ia adalah 'As-Siddiq' sejati, yang keyakinan dan tindakannya menyelamatkan Islam dari kepunahan di titik krisis terbesarnya.
Kisah hidupnya, yang dipenuhi dengan pengorbanan, kerendahan hati, dan ketegasan strategis, tetap menjadi sumber inspirasi tak terbatas, mengukuhkan posisinya sebagai yang paling utama di antara para Sahabat dan pilar pertama dari kekuasaan Islam yang damai dan adil.